30 Tahun Srebrenica: Dunia Ingat Genosida Bosnia, Tapi Bungkam atas Gaza?
TrenNews.id – Peringatan 30 tahun pembantaian Srebrenica yang jatuh pada 11 Juli 2025 menjadi momen kelam yang kembali menyingkap luka masa lalu. Dunia mengenang lebih dari 8.000 pria dan anak laki-laki Muslim Bosnia yang dibantai oleh pasukan Serbia Bosnia di bawah komando Jenderal Ratko Mladić. Tragedi ini terjadi dalam pusaran Perang Bosnia yang meletus setelah pecahnya negara Yugoslavia pada awal 1990-an.
Namun, di tengah upacara penghormatan yang berlangsung khidmat di Bosnia dan pernyataan simpati dari pemimpin dunia, ironi muncul: genosida lain diduga tengah berlangsung di Gaza, Palestina. Ribuan warga sipil telah terbunuh dalam agresi Israel yang berlangsung sejak akhir 2023, namun respons internasional sangat kontras dibandingkan dengan langkah cepat dan tegas dunia terhadap Bosnia tiga dekade silam.
Pembantaian Srebrenica dinyatakan sebagai genosida oleh Mahkamah Kejahatan Internasional untuk Bekas Yugoslavia (ICTY) dan Mahkamah Internasional (ICJ). Komunitas internasional mengakui keterlibatan langsung militer Serbia Bosnia, dan sejumlah jenderal serta politisi ditangkap, diadili, dan dijatuhi hukuman, termasuk Ratko Mladić dan Radovan Karadžić.
NATO juga kala itu turun tangan. Setelah kegagalan pasukan penjaga perdamaian PBB dalam mencegah pembantaian, dunia Barat terutama Amerika Serikat dan Uni Eropa mendorong aksi militer dan diplomasi yang berujung pada Perjanjian Dayton, mengakhiri konflik Bosnia pada 1995.
Di Gaza, PBB telah menyebut krisis kemanusiaan di wilayah itu sebagai “bencana skala besar”. Sejak dimulainya serangan Israel ke Gaza pasca 7 Oktober 2023, lebih dari 38.000 warga Palestina tewas mayoritas adalah perempuan dan anak-anak. Rumah sakit hancur, kamp pengungsian dibombardir, dan lebih dari dua juta penduduk terjebak di wilayah sempit tanpa akses memadai terhadap makanan, air bersih, atau perlindungan.
Meskipun Mahkamah Internasional telah mengeluarkan keputusan sementara bahwa Israel “harus mencegah tindakan genosida”, hingga kini belum ada tindakan internasional kolektif sebesar yang dilakukan saat Perang Bosnia. Bahkan, Dewan Keamanan PBB berulang kali gagal mengeluarkan resolusi karena veto dari negara adidaya.
Pengamat hubungan internasional menyoroti adanya standar ganda dalam merespons kekejaman kemanusiaan. Konflik Bosnia terjadi di jantung Eropa dan dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas kawasan Barat. Sementara itu, konflik Palestina-Israel terjerat dalam geopolitik Timur Tengah yang rumit, dengan kepentingan strategis negara-negara besar saling berbenturan.
“Penderitaan warga sipil seharusnya tidak tergantung pada warna kulit, agama, atau lokasi geografis. Tapi faktanya, solidaritas dan intervensi sering kali selektif,” ujar Prof. Rania M. Said, pakar politik internasional Universitas Oxford.
Lebih jauh, beberapa pihak menilai media arus utama Barat memiliki peran dalam membentuk opini publik yang mempengaruhi tekanan terhadap pemerintah. Dalam kasus Bosnia, gambar-gambar kamp konsentrasi dan jenazah korban menimbulkan gelombang simpati. Sebaliknya, narasi tentang Gaza kerap diperdebatkan, dikaburkan, atau dibingkai sebagai konflik keamanan belaka.
“Anak saya dibunuh hanya karena dia seorang Muslim,” kata Hasan Nuhanović, satu-satunya korban selamat dari keluarga yang terbunuh di Srebrenica. “Kami teriak minta bantuan, tapi dunia terlambat datang. Kini kami lihat hal yang sama terjadi di Gaza. Bedanya, dunia bahkan belum bergerak.”
Suara-suara seperti ini menguat dalam peringatan tahun ini, bukan hanya untuk mengenang, tapi untuk menagih tanggung jawab moral global.
dalam pernyataan resminya menyebut Srebrenica sebagai “simbol kegagalan komunitas internasional”. Namun peringatan itu akan kehilangan maknanya jika tragedi serupa dibiarkan terjadi kembali, apalagi dalam skala lebih besar.
Ketika pemimpin dunia berkumpul untuk menabur bunga dan menyampaikan janji “tidak akan pernah lagi”, dunia kini ditantang membuktikan: apakah benar kita belajar dari sejarah, atau hanya memperingatinya secara seremonial?
Tragedi Srebrenica dan Gaza adalah cermin dari kemanusiaan yang terluka. Dunia telah bersumpah untuk never again, tapi sumpah itu diuji setiap kali darah tak bersalah kembali tumpah. Ketika pembantaian yang dulu dikecam kini seolah dibenarkan oleh diamnya mayoritas, maka pertanyaan paling menyakitkan pun muncul: apakah nyawa manusia setara di mata dunia?
Sumber: rescue
Editor: Andi

Tinggalkan Balasan