Reformasi Pelatihan Rakyat, Jangan Lagi Sekadar Laporan Proyek
INDONESIA memiliki potensi besar di sektor pertanian dan perikanan. Dari Sabang hingga Merauke, dari desa pesisir hingga dataran tinggi, masyarakat menggantungkan hidup pada alam. Namun, potensi ini terlalu sering terhambat oleh rendahnya keterampilan, keterbatasan akses teknologi, dan minimnya daya saing sumber daya manusia. Pelatihan keterampilan seharusnya menjadi solusi, bukan formalitas tahunan yang menelan anggaran tanpa hasil nyata.
Kita ambil contoh Kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara, sebuah daerah dengan kekayaan alam luar biasa, namun masih berjuang mengangkat derajat ekonominya. Sebagian besar warganya hidup dari kakao, kelapa dalam, dan hasil laut. Namun hingga kini, produktivitas dan kualitas produk mereka belum mampu bersaing di pasar nasional, apalagi global. Salah satu penyebab utamanya adalah tidak adanya sistem pelatihan yang efektif, sistematis, dan berorientasi hasil (output-based training).
Setiap tahun, ratusan juta bahkan miliaran rupiah digelontorkan pemerintah pusat dan daerah untuk pelatihan masyarakat. Tapi sayangnya, banyak program hanya berakhir di atas kertas, laporan lengkap, foto kegiatan rapi, daftar hadir penuh namun masyarakat tetap miskin keterampilan. Ilmu tak sampai, pendampingan tak berlanjut, dan hasil tidak terukur.
Inilah saatnya dilakukan reformasi total terhadap sistem pelatihan keterampilan rakyat. Tidak cukup hanya menggugurkan kewajiban anggaran. Setiap pelatihan harus didesain dengan tujuan jelas, keterampilan apa yang diajarkan, bagaimana aplikasinya, siapa yang menjadi mentor, dan apa hasil konkretnya. Misalnya, pelatihan fermentasi kakao harus diikuti dengan pembentukan koperasi produksi atau penyaluran langsung ke mitra pasar. Pelatihan budidaya perikanan harus menghasilkan kolam aktif dan produksi nyata.
Sertifikasi kompetensi juga perlu dijadikan standar baru. Petani dan nelayan tidak cukup hanya “pernah ikut pelatihan”, tapi perlu pengakuan formal atas keterampilan mereka. Sertifikasi ini membuka akses pembiayaan, pasar, dan penguatan posisi tawar. Pemerintah daerah bisa bermitra dengan lembaga pelatihan profesional dan Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) untuk memastikan standar nasional terpenuhi.
Lebih jauh, bukan hanya pelatihannya yang harus dibenahi, tetapi juga kelembagaan pendukungnya. Perkumpulan, asosiasi, serta kelompok tani dan nelayan, termasuk KTNA (Kontak Tani Nelayan Andalan) harus diperkuat sebagai mediator dan jembatan komunikasi antara petani-nelayan dengan pemerintah. Mereka harus terlibat aktif dalam menyusun prioritas pelatihan, menginventarisasi kebutuhan riil di lapangan, serta memantau pelaksanaan dan dampak program. Dengan peran yang strategis, organisasi-organisasi ini dapat menjadi motor penggerak sekaligus pengawas keberlanjutan hasil pelatihan.
Pelatihan juga harus menyasar generasi muda desa bukan hanya mereka yang sudah lama berkecimpung, tapi juga anak-anak muda yang akan menjadi pelanjut sektor pangan dan kelautan. Dengan pendekatan digital, teknologi tepat guna, dan praktik lapangan yang langsung berdampak, pelatihan bisa menjadi ruang kreatif dan bukan sekadar agenda formal.
Apa yang terjadi di Kolaka Utara sebenarnya hanya satu potret dari sekian banyak kabupaten lain di Indonesia. Hal serupa terjadi di puluhan bahkan ratusan daerah yang memiliki potensi tetapi belum punya sistem peningkatan keterampilan yang kuat. Kementerian teknis dan pemerintah daerah perlu satu visi, pelatihan bukan proyek, tetapi investasi sumber daya manusia.
Jangan biarkan lagi dana pelatihan menjadi bagian dari pola anggaran yang tidak menyentuh akar masalah. Rakyat tidak butuh acara pelatihan yang megah; mereka butuh ilmu yang aplikatif, pendampingan nyata, dan peluang yang terbuka setelah pelatihan selesai.
Karena tanpa pelatihan yang benar, tidak akan lahir masyarakat yang trampil. Tanpa keterampilan, tidak akan ada daya saing. Dan tanpa daya saing, kemandirian ekonomi hanya akan menjadi jargon pembangunan yang tak pernah benar-benar terasa di akar rumput.
Redaksi
Tulisan ini terbuka untuk diskusi kebijakan nasional dan reformasi sistem pelatihan. Indonesia membutuhkan keseriusan dalam menciptakan SDM unggul dari desa ke kota, dari laut ke pegunungan dan itu dimulai dari pelatihan yang berdampak nyata.

Tinggalkan Balasan