Pin Garuda: Tanda Jabatan, Bukan Aksesori Seremonial
TrenNews.id – Di balik setiap lambang negara yang melekat pada seragam pejabat, tersimpan makna yang lebih dalam daripada sekadar perhiasan. Pin Garuda yang tersemat di dada kiri seorang kepala daerah bukanlah benda kecil tanpa arti, melainkan simbol kehormatan dan legitimasi jabatan yang diberikan langsung oleh negara. Namun, pertanyaan sederhana kerap muncul, kapan seharusnya pin Garuda dipakai, dan apakah boleh dipakai di luar tugas kedinasan?
Pertanyaan ini sebenarnya sudah terjawab jelas dalam regulasi. Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2017 menegaskan bahwa pin Garuda adalah tanda jabatan resmi bagi gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota. Dengan kata lain, penggunaannya terikat pada etika protokoler dan bukan semata-mata selera pribadi.
Sayangnya, tidak jarang publik menemukan fenomena di mana pin Garuda dikenakan di luar konteks kedinasan. Misalnya, dalam acara keluarga, kegiatan olahraga, bahkan ada yang terbawa saat kampanye politik. Praktik ini jelas menimbulkan pertanyaan etis: apakah pejabat tersebut memahami makna simbol negara yang melekat di dadanya?
Pin Garuda bukanlah bros biasa. Ia adalah simbol yang menegaskan bahwa seseorang sedang mengemban mandat rakyat dan negara. Jika dipakai sembarangan, makna sakralnya tergerus menjadi sekadar hiasan emas kecil.
Sejatinya, pin Garuda hanya dikenakan pada saat:
1. Acara resmi pemerintahan dan kenegaraan, seperti upacara bendera atau peringatan hari besar.
2. Kegiatan kedinasan, baik di dalam maupun di luar daerah.
3. Penerimaan tamu negara atau pejabat tinggi pusat.
Di luar itu, pin Garuda sebaiknya tidak melekat di dada seorang kepala daerah. Hari libur misalnya, bukanlah alasan untuk tetap memamerkan pin Garuda kecuali ada agenda resmi pemerintahan.
Penyalahgunaan pin Garuda sebenarnya bukan hanya persoalan sepele. Ia bisa berimplikasi pada hilangnya wibawa jabatan itu sendiri. Bagaimana publik bisa menghargai simbol negara, jika pejabat yang seharusnya menjaga malah memperlakukan lambang itu sebatas ornamen?
Ada analogi sederhana. Tanda pangkat dalam militer hanya dipakai saat berdinas, bukan ketika seorang perwira menghadiri pesta pernikahan pribadi. Begitu pula dengan pin Garuda: fungsinya adalah tanda kedinasan, bukan tanda kebesaran personal.
Hal penting lain yang sering dilupakan adalah kewajiban melepas pin Garuda setelah masa jabatan berakhir. Banyak mantan kepala daerah yang masih terlihat mengenakannya dalam acara-acara publik. Padahal, hak itu sudah gugur. Jika tetap dipakai, seolah-olah ada klaim simbolik bahwa ia masih berkuasa, padahal mandat sudah berakhir.
Etika kenegaraan menuntut kedisiplinan dalam hal kecil seperti ini. Jangan sampai publik menilai bahwa simbol negara telah diperalat untuk kepentingan pribadi.
Dalam tradisi kepemimpinan, hal-hal kecil sering kali menjadi ukuran integritas yang besar. Disiplin memakai pin Garuda sesuai aturan bukan hanya urusan protokoler, tetapi juga cerminan penghormatan terhadap negara, rakyat, dan jabatan itu sendiri.
Kepala daerah mestinya sadar bahwa pin Garuda yang melekat di dada kiri mereka adalah amanah, bukan perhiasan. Maka, memakainya di saat yang tepat, melepasnya di saat yang semestinya, adalah cara sederhana namun bermakna untuk menjaga kehormatan jabatan.
Simbol negara harus dijaga wibawanya. Jangan biarkan pin Garuda jatuh derajatnya menjadi sekadar bros emas di dada pejabat yang lupa pada makna amanah.
Redaksi

Tinggalkan Balasan