Membaca Peta Risiko, Menyadari Bahwa Keselamatan Adalah Keputusan Politik dan Kesadaran Publik
OPINI – Peta zona keselamatan bencana terbaru yang dirilis pemerintah bukan sekadar dokumen teknis. Ia adalah cermin—cermin besar yang memantulkan bagaimana negeri ini hidup berdampingan dengan ancaman, dan bagaimana kita, sebagai bangsa, selama ini memilih menafsirkan risiko: kadang dengan waspada, tetapi sering pula dengan abai.
Peta itu memperlihatkan ketimpangan yang tak bisa diabaikan. Ada daerah yang diberkahi stabilitas geologi, seperti Kalimantan dan sebagian Sumatra bagian timur. Ada pula daerah yang seolah berdiri di atas tanah yang terus gelisah, pesisir barat Sumatra, Maluku, Sulawesi Tengah dan Utara, hingga Papua bagian utara yang setiap saat dapat bergetar, retak, bahkan hancur. Namun fakta paling penting bukanlah zona mana yang paling aman atau paling rawan, melainkan apa yang kita lakukan dengan pengetahuan itu.
Bagi pejabat publik, peta ini seharusnya menjadi alarm keras.
Bencana di Indonesia bukan lagi urusan reaksi, tetapi perencanaan. Setiap garis yang tertarik di peta itu menuntut keputusan politik: bagaimana tata ruang harus dibenahi, bagaimana izin pembangunan harus diperketat, bagaimana proyek infrastruktur harus menyesuaikan risiko alam, bukan memaksa alam menyesuaikan hasrat pembangunan.
Jika zona merah tetap diperlakukan sama seperti zona hijau, itu bukan sekadar kelalaian, itu kesalahan masa depan yang sedang dipersiapkan hari ini. Pembangunan tanpa analisis risiko bukan lagi pembangunan, melainkan perjudian atas nyawa manusia.
Begitu pula pejabat daerah yang masih menjadikan mitigasi bencana sebagai program pinggiran.
Peta ini menawarkan rute penyelamatan, tetapi tanpa keberanian politik untuk menindaklanjuti, bangsa ini hanya berjalan menuju bahaya yang sudah terlihat jelas.
Namun renungan ini bukan hanya untuk pemerintah. Ia juga untuk rakyat.
Karena kita, sebagai masyarakat, sering kali menunggu bencana baru ingin belajar. Kita lebih sibuk memperdebatkan “siapa yang salah” ketika bencana datang, tetapi jarang bertanya “apa yang seharusnya kita persiapkan”.
Kita membangun rumah di bantaran sungai dengan keyakinan bahwa air akan mengalah. Kita hidup di kaki gunung berapi dengan anggapan bahwa amarah gunung bisa diprediksi. Kita tahu angin ekstrem akan datang setiap tahun, tetapi jarang bertanya apakah rumah kita cukup kuat, atau apakah keluarga kita tahu jalur evakuasi.
Peta yang dipublikasikan pemerintah sebenarnya adalah undangan: undangan untuk menjadi bangsa yang matang, bangsa yang belajar sebelum terluka, bukan setelah kehilangan.
Karena pada akhirnya, keselamatan bukan hanya produk dari lembaga pemantau bencana atau dokumen kebijakan.
Keselamatan adalah keputusan bersama, keputusan para pejabat untuk memimpin dengan keberanian dan keputusan rakyat untuk hidup dengan kesadaran.
Indonesia adalah negeri yang indah sekaligus rapuh. Kita tidak diberi pilihan untuk mengubah letak geografis atau jalur patahan. Tetapi kita punya pilihan untuk menjadi bangsa yang siap, yang cerdas, dan yang peduli.
Semoga peta risiko ini tidak berhenti sebagai arsip.
Semoga ia benar-benar menjadi kompas bagi pejabat dalam membuat keputusan, dan bagi rakyat dalam menjaga hidup.
Karena di negeri yang penuh ancaman ini, keselamatan bukan takdir.
Ia harus diperjuangkan, setiap hari.
Penulis: Redaksi


Tinggalkan Balasan