Sugeng Adiyanto: Hidup untuk Kakao, Ikhlas untuk Petani
Di balik rimbunnya kebun kakao di Sulawesi Tenggara, nama Sugeng Adiyanto telah lama akrab di telinga para petani. Siapa yang tak mengenal Sugeng? Bagi banyak petani kakao, ia bukan sekadar pendamping, melainkan sahabat, guru, sekaligus tempat bertanya di kebun. Di usianya yang telah melampaui 60 tahun, Sugeng masih setia menyusuri pematang, membawa pengalaman panjang dan semangat yang tak pernah padam.
Perjalanan Sugeng bersama kakao bermula pada awal 1990-an. Saat itu, ia hanyalah seorang buruh tani di perkebunan kakao. Hari-harinya dihabiskan di kebun, berbaur dengan tanah, batang, dan buah kakao. Dari lingkungan sederhana itulah Sugeng mulai belajar bukan dari bangku sekolah, melainkan dari pengalaman langsung dan kedekatan dengan alam serta kehidupan petani.
Titik balik hidupnya datang di awal 2000-an. Seorang Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), Ikbal Nawawi, tengah mencari petani yang bersedia dilatih menjadi pelatih. Pertemuan mereka di Desa Lapasi-Pasi menjadi awal perubahan besar. Sugeng kemudian dikirim mengikuti pelatihan intensif di Kolaka selama satu bulan, dibimbing oleh pelatih dari NGO asal Amerika Serikat, ACDI/VOCA.
Ilmu yang diperolehnya tak berhenti pada dirinya sendiri. Sepulang pelatihan, Sugeng aktif menjadi pemandu petani kakao hingga 2005. Ia mendampingi petani dari kebun ke kebun, berbagi pengetahuan tentang perawatan, produksi, dan keberlanjutan tanaman kakao.
Dedikasinya berbuah kepercayaan. Pada 2005, Sugeng dipercaya mewakili Sulawesi Tenggara dalam Simposium Kakao Nasional di Yogyakarta. Sebuah pengakuan atas kerja sunyi yang selama ini ia lakukan di lapangan.
Perjalanan pengabdiannya terus berlanjut. Tahun 2006, Sugeng bergabung dengan program USAID melalui lembaga AMARTA sebagai Farmer Trainer hingga 2011. Usai program tersebut, ia direkrut oleh perusahaan kakao TMCI yang berkantor pusat di Makassar dan ditugaskan di Sulawesi Barat.
Pada 2012, Sugeng kembali ke Sulawesi Tenggara. Di TMCI, ia mengawali peran sebagai Field Facilitator (FF), kemudian dipercaya menjadi Farmer Coordinator (FC) hingga pensiun pada 2019. Namun bagi Sugeng, pensiun bukan akhir dari pengabdian.
Di tahun yang sama, meski berbeda bulan, ia kembali direkrut oleh PT Olam Indonesia (OFI). Sugeng kembali turun ke lapangan sebagai Field Facilitator dan ditugaskan di Kecamatan Batu Putih hingga saat ini.
Puluhan tahun mendampingi kakao, Sugeng merasakan banyak suka dan duka. Suka karena setiap hari bertemu banyak orang, menyatu dengan lingkungan hidup, dan memperluas persahabatan. Duka pun ada, ia kerap mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan petani secara luas.
Namun Sugeng tak pernah mengeluh. Baik soal penghasilan maupun soal waktu. Hari libur bukan alasan baginya untuk berhenti bekerja. Jika petani membutuhkan pendampingan, ia datang dengan senang hati turun ke kebun, berdiskusi, dan mencari solusi bersama.
Sikap itulah yang membuat Sugeng selalu diterima di mana pun ia berada. Ia bersyukur, sepanjang perjalanan hidupnya, tak pernah dipandang negatif oleh orang lain. Justru sebaliknya, kehadirannya selalu dibutuhkan.
Bagi Sugeng Adiyanto, kakao bukan sekadar tanaman. Ia adalah jalan hidup, ruang pengabdian, dan jembatan penghubung antara pengetahuan dan harapan petani. Selama tenaga dan pikirannya masih dibutuhkan, Sugeng akan terus berjalan, mengabdi dengan ikhlas, menanam kebaikan, dan memanen kepercayaan di setiap kebun kakao.
Penulis: Asse


Tinggalkan Balasan