Minggu, 28 Desember 2025

Menggali Lebih Dalam Lumpur Jurnalisme Manggarai: Catatan Pahit Seorang Pelayan Kebenaran

Kordianus Lado, Jurnalis TrenNews.id

Natal 2025 hadir sebagai momen refleksi yang getir bagi saya, seorang jurnalis yang mencoba menapaki jalan kebenaran di tanah Manggarai. Hampir dua tahun saya menjalani profesi ini, dan yang saya temui bukanlah hamparan permadani idealisme, melainkan kubangan lumpur yang menguji integritas, keberanian, dan daya tahan moral. Menjadi jurnalis di daerah ini bukan sekadar soal profesi, melainkan pergulatan eksistensial antara idealisme dan realitas yang kerap kali menyakitkan.

Dalam setiap liputan, saya berhadapan dengan tembok besar bernama kepentingan. Permintaan halus hingga ancaman terang-terangan agar “tidak menulis” telah menjadi bagian dari keseharian. Lebih menjijikkan lagi, godaan berupa uang rokok atau yang dibungkus dengan istilah “uang transportasi” selalu hadir, menguji iman dan integritas. Bagi sebagian jurnalis, pemberian semacam itu dianggap lumrah, bahkan wajar. Namun bagi saya, itu adalah racun yang perlahan membunuh independensi dan objektivitas jurnalistik.

Saya memilih untuk menolak. Bagi saya, kebenaran jauh lebih berharga daripada sekadar lembaran uang. Ironisnya, sikap ini justru berbuah pengucilan. Narasumber yang merasa “dikhianati” mulai menjauh. Tak sedikit pula yang menyebarkan fitnah kepada rekan seprofesi, melabeli saya sebagai jurnalis yang “tidak tahu berterima kasih”. Di titik ini, saya menyadari bahwa standar moralitas sebagian jurnalis di Manggarai telah terbalik. Menerima uang dari narasumber dianggap wajar, sementara menulis berita yang jujur dan kritis justru dipandang sebagai bentuk pengkhianatan.

Lebih menyedihkan lagi, saya menyaksikan sendiri bagaimana sebagian jurnalis berubah menjadi centeng dan beking para pengusaha, kontraktor, bahkan pejabat yang diduga korup. Media dijadikan alat untuk melindungi kepentingan para cukong, menutup-nutupi kebobrokan, dan menyerang siapa pun yang berani bersuara kritis. Pernah suatu waktu, saya menerima telepon dari rekan seprofesi yang meminta saya untuk “tidak mengganggu” bisnis haram seorang pengusaha. Nada ancaman dalam percakapan itu membuat saya muak. Namun saya tetap teguh pada pendirian: kejahatan harus dibongkar, siapa pun pelakunya.

Saya sadar, sikap ini membuat saya memiliki banyak musuh. Upaya menegakkan kebenaran kerap dianggap sebagai deklarasi perang. Namun saya tidak menyesal. Lebih baik dibenci karena jujur daripada disanjung karena berbohong.
Di tengah semua tekanan itu, saya tetap menemukan alasan untuk bangga menjadi jurnalis. Pada tahun 2023, saya turut mengamankan pelaku pencurian kendaraan bermotor.

Pada Februari 2025, saya terlibat dalam pengungkapan kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Kabupaten Manggarai. Mungkin bagi sebagian orang hal ini tidak istimewa, tetapi bagi saya, ini adalah bukti bahwa jurnalisme masih memiliki daya untuk menghadirkan perubahan nyata bagi masyarakat.

Saya tidak mengharapkan pujian atau penghargaan. Saya hanya ingin berkontribusi, sekecil apa pun, dalam memberantas kejahatan dan melindungi masyarakat.

Natal 2025 ini, saya kembali merenungkan panggilan jiwa saya sebagai jurnalis. Jalan yang saya pilih adalah jalan yang sunyi, terjal, dan penuh onak duri. Namun saya tidak akan menyerah. Saya akan terus menggali lebih dalam lumpur korupsi, melawan intimidasi, dan menyuarakan kebenaran.

Karena di sanalah makna Natal yang sesungguhnya: menghadirkan terang di tengah kegelapan. Semoga semangat ini terus menyala, tidak hanya dalam diri saya, tetapi juga dalam hati para jurnalis lain—agar kita benar-benar menjadi pelayan kebenaran yang sejati dan pembawa perubahan bagi Manggarai.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini