Novel Baswedan Soroti SP3 Kasus Tambang Nikel Konawe Utara, Singgung Potensi Intervensi di KPK
Jakarta, TrenNews.id — Mantan penyidik senior Novel Baswedan menduga adanya intervensi dalam penegakan hukum yang berujung pada penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap kasus izin pengelolaan pertambangan nikel di Konawe Utara.
Menurut Novel, kewenangan penerbitan SP3 yang dimiliki KPK berpotensi membuka ruang intervensi dalam penanganan perkara.
“Dengan adanya kewenangan SP3, maka KPK mudah terintervensi dalam penanganan perkaranya,” kata Novel dalam keterangan kepada wartawan, Minggu (28/12/2025).
Ia menegaskan sejak awal tidak menyetujui revisi Undang-Undang KPK yang memberikan kewenangan tersebut, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019.
“Oleh karena itu sejak awal saya tidak setuju KPK diberi kewenangan SP3 sebagaimana dalam UU KPK yang baru,” ujarnya.
Lebih lanjut, Novel menilai kewenangan SP3 berpotensi membuat KPK kurang berhati-hati dalam menaikkan status perkara dari penyelidikan ke penyidikan hingga penetapan tersangka.
“Dengan kewenangan SP3, KPK bisa saja tidak berhati-hati dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka,” tambahnya.
Sebelumnya, KPK menjelaskan alasan penghentian penyidikan kasus izin pengelolaan pertambangan nikel Konawe Utara yang menjerat mantan Bupati Konawe Utara, Aswad Sulaiman.
KPK menyebut dugaan penerimaan suap terjadi pada 2009 sehingga dinilai telah kedaluwarsa apabila disidik pada 2025 atau sekitar 16 tahun kemudian. Selain itu, alat bukti terkait kerugian keuangan negara dinilai belum mencukupi.
“Penerbitan SP3 oleh KPK sudah tepat karena tidak terpenuhinya kecukupan alat bukti, khususnya dalam penghitungan kerugian keuangan negara,” ujar Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo.
Budi menambahkan, SP3 bertujuan memberikan kepastian hukum bagi para pihak terkait dan sejalan dengan asas pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU Nomor 19 Tahun 2019.
KPK sebelumnya menetapkan Aswad Sulaiman sebagai tersangka pada 3 Oktober 2017. Ia diduga terlibat korupsi dalam pemberian izin kuasa pertambangan eksplorasi dan eksploitasi serta izin usaha pertambangan operasi produksi di Konawe Utara pada periode 2007–2014.
Dalam perkara tersebut, indikasi kerugian keuangan negara diperkirakan mencapai sekitar Rp2,7 triliun yang berasal dari penjualan hasil produksi nikel melalui proses perizinan yang diduga melawan hukum. Selain itu, Aswad diduga menerima uang sekitar Rp13 miliar dari sejumlah perusahaan yang mengajukan izin pertambangan pada periode 2007–2009.
Aswad disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto UU Nomor 20 Tahun 2001 serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Ia juga dijerat Pasal 12 atau Pasal 11 UU Tipikor terkait dugaan penerimaan suap.
Pewarta: Nisa


Tinggalkan Balasan