Pencitraan di Tengah Bencana: Ketika Kepemimpinan Tergelincir Menjadi Pertunjukan
TrenNews.id – Bencana yang melanda Sumatera kembali membuka lembaran suram tentang bagaimana sebagian pejabat memahami mandat kekuasaan. Di saat warga berjuang menyelamatkan diri dari banjir dan tanah longsor, sejumlah pejabat justru menjadikan lokasi bencana sebagai panggung tempat menata citra, bukan menegakkan kemanusiaan.
Kita menyaksikan karung bantuan berstiker wajah pejabat, pose memanggul beras di depan kamera, hingga rompi taktis yang dikenakan bukan karena kebutuhan, melainkan demi estetika visual. Semua itu mempertontonkan ironi: pejabat yang mestinya hadir sebagai pemimpin justru memosisikan diri sebagai aktor utama dalam sebuah skenario pemolesan reputasi.
Psikolog menyebut perilaku semacam ini sebagai bentuk defisit empati afektif. Mereka mengerti warga sedang menderita, tetapi tidak merasakannya. Maka tak heran bila korban dianggap sekadar “latar foto”, bukan manusia yang sedang berduka.
Yang lebih menyedihkan, sebagian perilaku tersebut beririsan dengan karakter Dark Triad Personality, narsisme yang haus pengakuan, machiavellianisme yang memanfaatkan bencana sebagai momentum politik, serta psikopati subklinis yang tak merasa janggal ketika tersenyum lebar di tengah reruntuhan rumah warga.
Ironi ini bukan hanya milik pejabat lapangan. Di tingkat pusat, kita menyaksikan menteri saling sindir di ruang publik. Seruan untuk taubat nasuha dan tudingan mencari biang kerok justru memperlihatkan betapa rapuhnya orientasi kepemimpinan dalam menghadapi tragedi kemanusiaan. Ketika kabinet bersilang suara, publik melihat ketidakmampuan negara menampilkan solidaritas yang seharusnya menjadi fondasi penanganan bencana.
Di daerah, seorang bupati memilih umrah ketika wilayahnya dilanda musibah. Ibadah memang suci, tetapi kepemimpinan pada saat bencana adalah tanggung jawab moral yang tidak bisa ditinggalkan. Kepala daerah yang absen dalam situasi darurat mengirimkan pesan jelas: prioritas tidak lagi berada pada keselamatan rakyat.
Krisis ini menyingkap masalah yang lebih dalam: sistem politik kita semakin menuntut visualisasi kerja dibanding substansi kerja itu sendiri. Semangat “kalau tidak viral, dianggap tidak bekerja” menjebak pejabat dalam kompetisi pencitraan. Ditambah lagi dengan lingkaran staf dan tim sukses yang mendorong pengambilan gambar setiap kali ada kamera, etika pun tersingkir dari meja keputusan.
Yang menjadi korban bukan hanya warga yang kehilangan rumah, tapi juga martabat mereka. Bencana mestinya menjadi ruang empati, bukan komoditas politik. Saat pejabat memperlakukan korban sebagai properti foto, itulah bentuk dehumanisasi yang paling kasar, kekerasan simbolik yang tak kasat mata namun begitu menyakitkan.
Negara perlu kembali memahami esensi kepemimpinan: hadir, bekerja, dan melindungi. Bukan tampil, memposisikan diri, dan menghitung keuntungan politik.
Editorial ini mengajak semua pihak, khususnya pejabat publik, untuk kembali ke titik paling asasi dari sebuah jabatan: tanggung jawab terhadap manusia yang dipimpinnya. Di tengah bencana, empati bukan sekadar sikap, ia adalah inti dari kepemimpinan itu sendiri.
Editorial TrenNews.id


Tinggalkan Balasan