Sabtu, 23 November 2024

Demokrasi dan Mahdiisme: Sebuah Lompatan Politik

Agung Ardaus, Aktifis JAKFI Nusantara

Ada berbagai bentuk keacakan, ketidakberaturan, dan ketidakpastian yang memberi warna dalam aneka aspek kehidupan bernegara dan berbangsa akhir-akhir ini, sebagai akibat lemahnya daya “pengendalian” dan hilangnya kekuatan “pengaturan”. Setidaknya, secara implisit itu yang disampaikan oleh Budi Hardiman dan Amir Piliang.

Tubuh bangsa ini seolah dipenuhi berbagai gerak turbulensi sosial (social turbulence), yaitu semacam pergerakan sosial yang tidak beraturan dan acak: wacana politik yang berkembang tanpa arah; wacana ekonomi yang dihantui fluktuasi kronis; wacana sosial yang dilanda kekerasan tanpa akhir; apalagi membincang wacana budaya, yang kini diselimuti oleh ketidakpastian nilai.

Kondisi turbulensi tak terkendali menyebabkan proses demokratisasi berkembang ke arah yang “melampaui” alam demokrasi itu sendiri, yaitu demokrasi tanpa kendali. Kondisi hiper demokratis, ironisnya, telah menciptakan “zona-zona kemacetan” di hampir setiap sistem: kemacetan pada sistem ekonomi; kebuntuan pada sistem politik; kebingungan pada sistem industri; dan trauma dalam sistem sosial.

Secara implisit, Cak Nur pernah berkata bahwa berkembangnya ketidakberaturan, keacakan, dan turbulensi dalam sebuah sistem yang tengah membangun proses demokratisasi merupakan hal biasa.

Bahkan, menurut Cak Nur, dapat bernilai positif, bila ia mampu menggerakkan sistem-sistem demokratis ke arah sifat dinamis bagi pertumbuhan dirinya. Namun, turbulensi merupakan suatu ancaman yang menakutkan bila kekacauan, keacakan, dan ketidakpastian berkembang ke arah lenyapnya kekuatan pengendalian, ke arah kondisi hiper-demokrasi, yang akan menggiring sebuah sistem menuju penghancuran dirinya sendiri atau self destruction.

Kalau kita mengacu pada masa lampau, dalam hal ini apa yang dikenal sebagai Konstitusi Madinah, kita menemukan betapa demokratisnya era tersebut. Di mana orang nomor 1 di dunia menurut Michael Hart, yakni Nabi Muhammad, membangun sebuah sistem yang dapat dikatakan mampu mencover seluruh masyarakat yang hidup di Madinah, apapun agama dan status sosialnya. Bahkan, kata Robert N Bellah, Muhammad mampu membawa masyarakat Arab yang jahil melompat ke arena global berhadap-hadapan dengan imperium yang besar. Sungguh menakjubkan.

Ini menunjukkan, sebagaimana dimaklumi bersama, Nabi memperaktekkan musyawarah, demokrasi, dan peluang terbukanya kritik serta saling adu pendapat untuk kepentingan bersama. Selain menunjukkan arti ini, berdasarkan postulat bahwa sang nabi melakukan sesuatu atas kehendak Tuhan, maka sudah barang tentu Tuhan pun menyarankan hadirnya demokrasi sebagai cara mengamankan hidup manusia.

Izinkan saya mengutip ayat dalam Surah Ali Imran, “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya,” (Qs Ali Imran:159).

Ayat ini menurut tafsir populer adalah bentuk mengafirmasian atas demokrasi. Karena itu, otoritatianisme, dinasti, oligarki, diktatorisme, despotisme, perbudakan, penjajahan, merupakan hal yang bertentangan dengan demokrasi, dan karena itu, juga bertentangan dengan kehendak Tuhan yang menyarankan demokrasi. Sebab, Tuhan yang Maha Kuasa, masih memberi ruang musyawarah. Ini adalah pandangan yang tentu saja amat menarik untuk diperbincangkan.

Namun, dalam sisi lain, agama mengabarkan, atau bahkan menjanjikan sebentuk tatanan ideal di mana suatu masa, entah masa itu kapan, akan ada kepemimpinan absolut di muka bumi ini yang dalam optik Islam disebut sebagai “Mahdiisme”. Lalu kita bertanya, apakah ini merupakan bentuk pembatalan terhadap demokrasi? Di mana sistem Mahdiisme dikabarkan sebagai sistem “maskulin” yang bila diterjemahkan menjadi sangat otoriter?

Terhadap pertanyaan ini, saya akan mengajukan tesis berdasarkan sudut pandang filsafat Islam yang mencintai dimensi transenden dan imanen.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini