Minggu, 8 September 2024

Demokrasi dan Mahdiisme: Sebuah Lompatan Politik

Agung Ardaus, Aktifis JAKFI Nusantara

Dimensi transenden yang dimaksud adalah suatu tatanan yang datang dari “atas”. Atau saya sebut saja kepemimpinan ilahiah, yang berbeda dengan apa yang disebut sebagai “Daulah Islamiyah” oleh kebanyakan masyarakat Indonesia.

Itu berarti, demokrasi juga merupakan sistem ilahiah dengan alasan bahwa demokrasi merupakan perintah Tuhan (dari “atas”). Sesuai dengan ini, muncul istilah “imanensi”, yaitu semakna dengan demokrasi. Singkatnya, dimensi imanensi adalah demokrasi.

Melalui sudut pandang ini, kedua dimensi tersebut adalah satu. Namun, demokrasi sebagai aspek imanensi merupakan kondisi ilmiah yang harus dibangun untuk menerima keseluruhan perintah Tuhan yang menjanjikan kepemimpinan mutlak dari dan oleh al-Mahdi atau sebut saja al-Masih, sang penolong.

Saya meminta maaf kepada sidang pembaca lantaran tulisan ini agak panjang, namun izinkan saya memberikan analogi singakat ini; “Menanam biji pepaya jangan harap tumbuh pohon kelapa”. Analogi ini amat jelas, bahwa setiap bentuk akan sesuai dengan potensi yang ada. Begitu juga dengan bentuk sistem mahdiisme, hanya dapat diterima oleh demokrasi sebagai daya di kehidupan kita.

Jadi, tak ada Mahdiisme tanpa demokrasi. Bila tidak demikian, maka Nabi mustahil menerapkan prinsip-prinsip demokrasi, saat yang sama Tuhan menjanjikan kepemimpinan “absolut”. Itulah kenapa demokrasi merupakan keharusan hidup yang tidak untuk demokrasi, tetapi untuk mempersiapkan hadirnya sistem baru (baca: sistem “absolut”), yang barangkali tak pernah dibayangkan oleh siapa pun di muka bumi ini.

Maka dari itu, melalui tesis ini, tidaklah ditemukan kontradiktori antara demokrasi dan kepemimpinan al-Mahdi. Kita hanya butuh mempersiapkan demokrasi untuk melompat dan menyambut tatanan Mahdiisme. Di mana demokrasi mengandung keterbukaan pemikiran, menjunjung tinggi kemanusiaan, tidak menjual suara dengan harga yang murah, tidak membungkam pendapat, tidak mengambil hak orang lain dan selalu mengajak pada kebaikan.

Apa yang disebut terakhir adalah kondisi ilmiah (imanensi/transendensi) guna menerima aspek rasional Ilahiah (transendensi/imanensi). Dengan kata lain, demokratisasi adalah jalan satu-satunya untuk menerima Mahdiisme sebagai lompatan politik yang spektakuler guna menyalurkan kebahagiaan di muka bumi ini.

Saya tidak yakin apa yang saya utarakan ini dipahami oleh semua orang. Namun saya optimis akan ada diskusi menarik usai tulisan ini dilahap oleh sidang pembaca. Tentu saja kita menghargai kritikan dan keterbukaan pemikiran karena kita mencintai demokrasi. Tetapi bukan untuk mempertahankan yang salah bila kesalahan itu tengah terpampang di hadapan mata. Karena itu, kita tidak hanya terbuka untuk berdiskusi dan saling mengkritisi, tetapi juga kita berharap agar kita semua terbuka terhadap penerimaan atas kebenaran.

Dalam deretan panjang kata-kata ini, karena hari ini hingga beberapa bulan kedepan adalah momen politik, izinkan saya menyampaikan pesan moral kepada saya dan Anda semuanya, “Money politik merupakan perilaku yang menghambat perkembangan demokrasi, dan karena itu money politik adalah praktek pembatalan hadirnya al-Mahdi,”. Terimkasih… (*)

Penulis: Agung Ardaus
Aktivis JAKFI Nusantara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini