Sabtu, 18 Oktober 2025

Di Balik Ungkapan Bijak, Ada Tangisan yang Tak Terdengar

Ilustrasi

Di tengah derasnya arus informasi hari ini, kita hidup dalam banjir petuah dan kata-kata bijak. Media sosial, seminar motivasi, hingga khutbah Jum’atan menyajikan kalimat-kalimat indah. “Kekurangan bukan kekalahan”, “Sabar itu kekuatan”, atau “Syukur kunci bahagia.” Semua terdengar memotivasi, menenangkan, dan secara spiritual terasa benar.

Namun, di balik keindahan retorika itu, kita lupa satu hal, tidak semua orang berada pada posisi yang sama untuk mendengarkannya. Tidak semua orang bisa menerima kalimat bijak itu dengan lapang. Bukan karena tidak percaya pada kebaikan hidup, tapi karena mereka sedang terlalu sibuk bertahan hidup.

Coba bayangkan seorang kepala keluarga yang baru saja kehilangan pekerjaannya. Ia harus membayar sewa kontrakan, membeli susu untuk anak bayinya, dan membayar uang sekolah anak pertamanya. Tapi tak ada penghasilan masuk. Pekerjaan sulit dicari, sementara kebutuhan datang tanpa ampun. Dalam kondisi seperti ini, akankah kata-kata seperti “uang bukan segalanya” atau “yang penting sehat dan bahagia” terdengar masuk akal?

Untuk mereka yang hidup dalam kekurangan akut, nasihat bijak bisa terasa seperti ejekan. Karena kenyataannya, anak tidak bisa makan hanya dengan motivasi, dan listrik tidak bisa dibayar dengan sabar. Ketika dapur kosong dan tagihan menumpuk, kalimat motivasi terasa hambar dan jauh dari realitas.

Kita hidup dalam masyarakat yang tidak setara. Sebagian bisa menikmati hidup dengan layak, sebagian lagi bertahan dalam sistem yang pincang. Tapi anehnya, ketika menghadapi ketimpangan ini, yang sering kita lakukan adalah mendorong orang yang miskin untuk lebih sabar, lebih bersyukur, bahkan lebih kuat secara mental. Seolah-olah kekurangan adalah masalah mentalitas, bukan struktur sosial dan ekonomi.

Kita tidak menyadari bahwa perbedaan antara kata-kata dan kenyataan bisa begitu lebar. Mereka yang berada dalam posisi aman mudah berbicara tentang pentingnya bersyukur. Tapi apakah mereka pernah merasakan bagaimana rasanya harus berpura-pura kuat di depan anak, padahal tak punya uang untuk makan malam?

Di balik kalimat bijak yang berseliweran, ada ribuan tangisan yang tak terdengar. Seorang ibu yang harus memasak air agar anaknya merasa seperti sedang makan sesuatu. Seorang ayah yang duduk termenung di ujung malam, memikirkan dari mana ia akan mencari uang besok pagi. Seorang anak yang diam-diam menangis karena harus putus sekolah.

Mereka ini bukan tidak kuat. Mereka adalah pahlawan kehidupan yang berjalan tanpa sorotan. Mereka bukan tidak bersyukur. Tapi rasa syukur itu kini harus bersaing dengan rasa lapar, ketidakpastian, dan tekanan sosial yang luar biasa.

Opini ini bukan bermaksud menolak nasihat spiritual atau motivasi hidup. Tentu saja sabar dan syukur adalah nilai-nilai luhur yang harus terus dijaga. Tapi ada garis tipis antara memberi semangat dan menyalahkan korban. Ketika nasihat spiritual digunakan untuk membungkam jeritan keadilan, maka kalimat itu kehilangan maknanya.

Bersyukur adalah ajaran yang mulia tapi jangan dijadikan alat untuk melanggengkan kemiskinan. Sabar adalah kekuatan tapi jangan dijadikan alasan untuk menolak perubahan sistem. Kita tidak bisa terus-menerus menuntut kesabaran dari mereka yang dizalimi, tanpa menuntut keadilan dari mereka yang berkuasa.

Sudah waktunya kita bergeser. Dari hanya menyebar nasihat, menjadi bagian dari solusi. Dari hanya menyuruh bersyukur, menjadi orang yang membuka jalan. Dari hanya menyuruh sabar, menjadi orang yang menyuarakan perubahan.

Mereka yang tangisannya tak terdengar itu tidak butuh kalimat indah. Mereka butuh kesempatan, pekerjaan, kepastian layanan kesehatan, pendidikan murah, dan harga bahan pokok yang masuk akal. Mereka butuh kebijakan yang berpihak, bukan puisi yang membius.

Ungkapan bijak tetap penting, tapi harus disandingkan dengan empati dan tindakan nyata. Kata-kata tidak akan pernah cukup tanpa keberpihakan. Motivasi tidak akan menyelamatkan bila tidak ada jaring pengaman sosial. Dan spiritualitas tidak boleh menjadi alasan untuk membiarkan ketidakadilan terus berlanjut.

“Kita tidak bisa memberi makan orang lapar dengan kutipan bijak.
Tapi kita bisa menjadikan hati kita lebih bijak, dengan mendengarkan jeritan mereka yang lapar.”

Di balik setiap ungkapan bijak yang kita lontarkan, mungkin ada tangisan yang tak terdengar dan sudah saatnya kita benar-benar mendengarkan.

Redaksi TrenNews.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini