Senin, 23 Juni 2025

Jurnalis Bukanlah Profesi yang Hina: Jangan Salahgunakan Jurnalistik demi Kepentingan Pribadi

Ilustrasi

Dalam dunia yang semakin gaduh oleh informasi, jurnalis adalah penjaga terakhir dari nurani publik. Mereka berdiri di tengah arus deras kebohongan, fitnah, dan propaganda untuk menyuarakan kebenaran, menyampaikan fakta, dan mengabarkan realitas. Maka tak heran bila profesi ini dijuluki sebagai “pilar keempat demokrasi”, sejajar dengan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Namun ironisnya, di tengah tugas berat dan tanggung jawab moral yang mereka emban, masih saja ada yang memandang jurnalis dengan hina. Bahkan lebih parah, marak penyalahgunaan identitas jurnalistik untuk kepentingan pribadi, bahkan untuk pemerasan, politik pesanan, dan pembentukan opini sesat. Situasi ini bukan hanya merusak martabat profesi jurnalis yang sejati, tetapi juga mengancam kebebasan pers dan kepercayaan publik terhadap media.

Satu hal yang perlu ditegaskan: tidak semua orang yang membawa kartu pers adalah jurnalis. Tidak semua yang memegang kamera dan mikrofon layak disebut wartawan. Seorang jurnalis sejati bekerja berdasarkan etika jurnalistik, mematuhi kode perilaku, dan tunduk pada fakta dan kepentingan publik. Ia bukan penggiring opini murahan. Ia bukan pemeras berseragam media. Dan ia bukan alat politik yang tunduk pada pesanan uang atau kekuasaan.

Goenawan Mohamad, salah satu tokoh pers nasional, pernah berkata:

“Pers bukanlah tempat orang mencari kuasa. Ia hanya tempat orang mencari makna.”

Jurnalisme sejati adalah laku sunyi: kerja menyimak, mencatat, dan menyampaikan. Tapi kini, ruang jurnalistik kian bising oleh suara-suara yang menyaru sebagai media, namun sejatinya hanyalah pemuas pesanan. Kita harus membedakan antara jurnalis yang bekerja dengan nurani dan oknum yang sekadar memanfaatkan baju pers sebagai tameng untuk kepentingan gelap.

Ada narasi berbahaya yang belakangan mencuat di ruang publik bahwa jurnalis adalah pengganggu, bahwa mereka hanya mencari-cari kesalahan, bahwa mereka hanyalah pemicu keributan. Ini narasi yang dibangun oleh mereka yang risih dengan keterbukaan, yang terganggu dengan kritik, dan yang terguncang oleh transparansi.

Padahal, jurnalis bukanlah pembuat masalah, melainkan pengungkap masalah. Jurnalis bukan penghancur reputasi, tetapi penjaga akuntabilitas. Jika seseorang merasa terganggu oleh pemberitaan, maka seharusnya ia berbenah, bukan membungkam. Pers yang bebas adalah cermin bagi kekuasaan. Bila wajah mereka tampak buruk di cermin, jangan pecahkan cerminnya.

Menghina jurnalis berarti menghina upaya menjaga demokrasi. Meremehkan jurnalis berarti meremehkan hak masyarakat untuk tahu. Apalagi bila sampai ada ancaman, intimidasi, atau kriminalisasi terhadap jurnalis yang bekerja di jalur kebenaran itu adalah pengkhianatan terhadap konstitusi.

“Freedom of the press is guaranteed only to those who own one.”

Pernyataan ini bukan sinisme, tapi peringatan. Bila media dikuasai oleh segelintir pemilik kepentingan, maka kebebasan pers akan bergeser menjadi kebebasan untuk mengabdi kepada yang membayar.

Undang-Undang Melindungi Kebebasan Pers

Konstitusi kita jelas. Pasal 28F UUD 1945 menyatakan:

“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi… serta berhak untuk menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

Lebih jauh, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers secara eksplisit mengatur dan melindungi kebebasan pers. Beberapa pasal penting:

Pasal 4 Ayat (1): “Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.”

Pasal 8: “Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.”

UU ini melindungi wartawan yang menjalankan tugasnya secara profesional dan beretika. Tapi pada saat yang sama, kita juga harus berani membersihkan “penumpang gelap” dalam dunia pers: mereka yang menyalahgunakan profesi untuk pemerasan, intimidasi, atau hoaks. Pers harus bersih dari kotoran yang merusak dari dalam.

Kita hidup di zaman yang disebut oleh jurnalis legendaris Bill Kovach dan Tom Rosenstiel sebagai “era banjir informasi tapi kekeringan makna”. Dalam bukunya The Elements of Journalism, mereka menegaskan bahwa:

“Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran. Loyalitas utamanya adalah pada warga negara.”

Ketika publik dijejali dengan kabar yang tak bisa dipercaya, jurnalis hadir sebagai penjernih. Di sinilah urgensi jurnalisme profesional, berintegritas, dan berbasis verifikasi menjadi sangat penting.

Seruan untuk Pemerintah, Media, dan Masyarakat

1. Kepada Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum: Jangan alergi terhadap kritik. Jangan mudah mengkriminalisasi jurnalis hanya karena pemberitaan dianggap “tidak menyenangkan”. Bedakan antara penghinaan dan pengungkapan fakta. Lindungi jurnalis yang bekerja sesuai UU Pers.

2. Kepada Perusahaan Media: Perkuat kembali redaksi, etika, dan independensi. Jangan biarkan medianya menjadi corong kepentingan. Kembalikan media pada fungsinya: menjadi mata dan telinga publik.

3. Kepada Masyarakat: Perkuat literasi media. Jangan mudah percaya pada media abal-abal. Dukung jurnalis yang bekerja jujur. Kritik media yang menyesatkan. Bangun ekosistem informasi yang sehat dan cerdas.

Jurnalis bukan malaikat, mereka bisa salah. Tapi mereka juga bukan penjahat yang layak dicaci. Mereka manusia biasa yang bekerja dalam tekanan, di medan berbahaya, dengan upah sering kali tidak layak. Tapi mereka tetap berjalan, karena nurani mereka tak rela melihat kebohongan merajalela.

Profesi jurnalis tidak hina. Yang hina adalah mereka yang menyamar sebagai jurnalis untuk memeras, menyebar hoaks, dan mengkhianati etika. Yang hina adalah mereka yang membungkam suara kebenaran dengan kekuasaan. Yang hina adalah mereka yang takut pada cahaya, lalu ingin memadamkan lentera jurnalisme.

Kebebasan pers bukan milik wartawan semata, tapi milik kita semua. Membela jurnalis sejati berarti membela hak publik atas kebenaran.

Catatan Redaksi 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini