Sabtu, 6 Desember 2025

Ketika APBD Tak Lagi Soal Rakyat, Tapi Soal Janji Politik

Ilustrasi Janji Politik vs Kebutuhan Masyarakat

OPINI – Dalam teori pemerintahan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah instrumen pembangunan yang paling konkret, paling dekat, dan paling terasa bagi masyarakat. Di atas kertas, APBD harus menjawab kebutuhan rakyat: perbaikan jalan, layanan kesehatan, pendidikan, air bersih, hingga program pemberdayaan ekonomi. Namun dalam praktiknya, tak jarang APBD justru berubah menjadi “mesin pemenuh janji politik” alih-alih menjadi alat pemenuhan kebutuhan publik.

Inilah potret paradoks yang membuat publik mengelus dada: ketika rakyat membutuhkan APBD yang tepat sasaran, pemerintah daerah justru sibuk menunaikan agenda politik yang pernah mereka janjikan saat kampanye.

APBD idealnya netral. Namun dalam banyak konteks, ia bergeser menjadi alat politik. Program yang masuk anggaran bukan lagi berdasarkan urgensi dan dampak, tetapi berdasarkan nilai elektoral dan kedekatan politik.

Jalan lingkungan yang rusak bertahun-tahun tidak masuk daftar prioritas, sementara pembangunan ikon daerah yang mahal dan seremonial justru muncul sebagai proyek “mendadak penting”. Jaringan irigasi yang dibutuhkan petani justru terpinggirkan, sementara proyek yang memberi “panggung” politik menjadi unggulan.

Ketika politik masuk terlalu dalam ke dapur anggaran, kehendak rakyat sering kali kalah oleh kepentingan elektoral.

Setiap kali APBD disusun, idealnya ada ruang publik untuk menyampaikan aspirasi. Namun banyak warga merasa sekadar “hadir” tanpa benar-benar didengar. Musrenbang berlangsung formalistik, aspirasi warga ditampung hanya sebagai formalitas administrasi, lalu di meja penganggaran semua berubah sesuai prioritas politik.

Rakyat pun menjadi penonton: melihat anggaran disusun, tetapi tidak bisa menentukan arahnya.

Padahal mereka yang paling tahu persoalan di lapangan: nelayan yang butuh dermaga, pedagang kecil yang butuh akses modal, hingga desa terpencil yang memerlukan infrastruktur dasar.

Janji politik sejatinya bukan masalah. Setiap pemimpin wajib merealisasikan sebagian program yang mereka tawarkan saat kampanye. Namun masalah muncul ketika janji itu memakan porsi anggaran terlalu besar sehingga mengorbankan kebutuhan dasar masyarakat.

Ada kepala daerah yang membangun proyek prestise untuk menunjukkan “jejak kepemimpinan”. Ada pula yang mengarahkan anggaran pada kelompok pemilihnya demi menjaga loyalitas politik. Padahal APBD bukan alat kampanye, melainkan amanat konstitusi untuk menyejahterakan semua warga tanpa kecuali.

Ketika janji politik bertabrakan dengan kebutuhan publik, pembangunan menjadi pincang.

Meski realitas tampak pahit, harapan tetap ada. Banyak kepala daerah dan DPRD sebenarnya mulai sadar bahwa rakyat semakin kritis. Media, lembaga masyarakat, dan kelompok pemuda kini memantau anggaran lebih ketat. Di era keterbukaan informasi, sulit menyembunyikan arah dan motif anggaran.

Rakyat hanya ingin satu hal: APBD yang tepat sasaran.

Bukan APBD yang dikendalikan oleh kalkulasi politik sempit, melainkan APBD yang menyentuh kebutuhan riil di desa, kelurahan, dan kecamatan. APBD yang berpihak pada layanan publik, bukan kepentingan elektoral.

Ketika sebuah pemerintah lebih sibuk menunaikan janji politiknya daripada menjawab kebutuhan publik, itu pertanda bahwa arah pembangunan sedang melenceng. APBD kehilangan rohnya yakni kesejahteraan rakyat.

Sudah saatnya anggaran daerah dikembalikan ke rel yang benar. Bukan untuk memperkuat pencitraan, bukan untuk membalas dukungan politik, tapi untuk memastikan bahwa setiap rupiah yang dibelanjakan benar-benar kembali kepada rakyat.

Karena pada akhirnya, pemerintahan yang baik tidak diukur dari seberapa banyak janji kampanye yang terpenuhi, tetapi seberapa nyata kehidupan rakyatnya membaik.

Penulis: Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini