Rabu, 18 Juni 2025

Menambang Tanpa Izin: Ancaman Nyata atas Masa Depan Bangsa

Ilustrasi: Tambang Ilegal Batu Bara

Oleh: Andi Pangeran

Di tengah sorotan terhadap pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, praktik Pertambangan Tanpa Izin (PETI) tetap menjadi luka menganga dalam tata kelola tambang nasional. Meski hukum telah mengaturnya dengan jelas, kenyataannya PETI terus menjamur di berbagai wilayah. Kegiatan ilegal ini tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga merusak tatanan hukum, ekonomi, dan sosial masyarakat. Sayangnya, keberadaannya kerap didiamkan, bahkan dalam beberapa kasus, dibekingi oleh kekuasaan.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang merupakan revisi dari UU No. 4 Tahun 2009, menegaskan bahwa setiap kegiatan pertambangan harus berizin. Izin bukan sekadar persoalan administrasi, tetapi instrumen pengawasan negara atas eksploitasi sumber daya yang menyangkut keselamatan lingkungan, perlindungan masyarakat, dan kontribusi terhadap pendapatan negara.

Ketika tambang dilakukan tanpa izin, negara dirampok dalam sunyi. Tidak ada pembayaran pajak, royalti, maupun kewajiban tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Negara dirugikan, masyarakat dirugikan, dan lingkungan dikorbankan.

Salah satu dampak paling nyata dari PETI adalah kerusakan lingkungan yang luas dan sistematis. Karena tidak melalui studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), kegiatan ini umumnya menggunakan metode yang merusak, seperti penggunaan bahan kimia berbahaya (merkuri, sianida) atau pengerukan tak terkendali.

Akibatnya, banyak daerah kehilangan tutupan hutan, kualitas air memburuk, dan tanah menjadi tidak produktif. Di beberapa wilayah, aktivitas PETI bahkan menyebabkan bencana seperti longsor dan banjir bandang. Kerugian ekologis ini bersifat jangka panjang dan sulit dipulihkan.

Ironisnya, praktik PETI kerap mengklaim diri sebagai “penolong ekonomi rakyat kecil.” Narasi ini digunakan untuk membenarkan aktivitas ilegal yang pada dasarnya hanya menguntungkan segelintir orang umumnya cukong tambang dan pemilik modal yang beroperasi di balik layar.

Masyarakat lokal memang kerap dilibatkan sebagai pekerja tambang, namun mereka bekerja dalam kondisi tanpa perlindungan keselamatan kerja dan rentan terhadap eksploitasi. Tak jarang pula terjadi kecelakaan kerja yang menelan korban jiwa, karena tidak ada standar operasional maupun pengawasan keselamatan.

Setelah tambang selesai dikeruk, masyarakatlah yang akan tinggal di lahan rusak tanpa sumber daya, tanpa air bersih, dan tanpa kompensasi. Kemiskinan dan kerusakan lingkungan justru menjadi warisan yang ditinggalkan.

PETI jelas merugikan negara secara ekonomi. Menurut Kementerian ESDM, potensi kerugian negara dari tambang ilegal mencapai triliunan rupiah per tahun. Dana yang seharusnya bisa masuk ke kas negara untuk pembangunan, pendidikan, atau pelayanan publik, malah hilang begitu saja ke kantong pelaku ilegal.

Lebih dari itu, PETI juga menciptakan iklim usaha yang tidak sehat. Pengusaha tambang yang legal, yang telah memenuhi berbagai persyaratan dan membayar kewajiban kepada negara, harus bersaing dengan pelaku ilegal yang beroperasi tanpa beban regulasi. Ini menciptakan ketimpangan dan mendorong praktek korupsi serta suap dalam perizinan.

Kelemahan terbesar dalam penanggulangan PETI adalah lemahnya penegakan hukum. Di berbagai daerah, penambang ilegal justru tumbuh subur tanpa hambatan. Tidak jarang ditemui indikasi pembiaran, bahkan keterlibatan oknum aparat atau pejabat dalam melindungi aktivitas tersebut.

Ini menciptakan kesan bahwa hukum hanya tegas kepada yang lemah, tetapi tumpul kepada yang memiliki kuasa. Akibatnya, rasa keadilan publik terkikis dan kepercayaan masyarakat terhadap negara menurun.

Pemerintah perlu mengambil langkah yang lebih tegas dan terpadu untuk memberantas PETI. Penegakan hukum harus dilakukan secara menyeluruh, tidak hanya menyasar pekerja di lapangan, tetapi juga mengejar aktor intelektual dan jejaring distribusi hasil tambang ilegal.

Selain itu, edukasi dan pendekatan alternatif ekonomi kepada masyarakat di sekitar wilayah tambang harus diperkuat. Pemerintah daerah dan pusat perlu bekerja sama membangun sumber penghidupan yang berkelanjutan agar masyarakat tidak lagi tergoda oleh tambang ilegal sebagai satu-satunya pilihan ekonomi.

Digitalisasi sistem perizinan dan transparansi data tambang juga penting untuk mencegah tumpang tindih wilayah tambang dan memudahkan pengawasan publik.

Menambang tanpa izin bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga bentuk pengkhianatan terhadap generasi mendatang. Kita dihadapkan pada pilihan, membiarkan praktik ilegal ini terus berlangsung dan menuai kehancuran, atau menghentikannya sekarang demi masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan.

Kekayaan alam Indonesia seharusnya menjadi berkah, bukan kutukan. Untuk itu, keberanian dan integritas semua pihak pemerintah, masyarakat, aparat, dan sektor swasta sangat dibutuhkan. Menjaga bumi adalah menjaga hidup. Dan itu harus dimulai dari sekarang.

Catatan Redaksi: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi secara keseluruhan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini