Minggu, 22 Juni 2025

Nelayan Ditindas, Lingkungan Tercemar: Hukum Kita Lindungi Siapa?

Ilustrasi

Ketika mereka yang memperjuangkan hak hidup dan hak lingkungan justru diancam pidana, kita harus bertanya hukum di negeri ini berpihak kepada siapa?

Peristiwa yang menimpa para nelayan Muara Badak, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, bukan sekadar soal pencemaran limbah atau kerugian ekonomi akibat rusaknya laut. Ini adalah cermin buram penegakan hukum dan potret nyata ketimpangan perlindungan negara terhadap rakyat kecil versus korporasi raksasa.

Sejak akhir 2024, sebanyak 299 nelayan kerang dara mengalami dampak serius akibat dugaan pencemaran limbah dari kolam eks pengeboran milik PT Pertamina Hulu Sanga-Sanga (PHSS). Kerugian ditaksir mencapai Rp69 miliar. Tapi alih-alih diundang ke meja dialog atau menerima ganti rugi, empat nelayan justru dipanggil polisi sebagai saksi atas dugaan penghasutan dan masuk pekarangan tanpa izin saat aksi unjuk rasa.

Padahal aksi protes tersebut, yang diikuti ratusan warga terdampak, merupakan bentuk terakhir dari kegelisahan yang tak didengar. Bukannya ditanggapi secara bijak, suara mereka justru dijawab dengan kekerasan dan kriminalisasi. Ini bentuk nyata represi terhadap partisipasi publik dalam isu lingkungan.

Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol, memang telah turun tangan dan mengacu pada Peraturan Menteri LHK Nomor 10 Tahun 2024, yang dikenal sebagai regulasi Anti-SLAPP. Regulasi ini secara tegas menjamin bahwa warga yang memperjuangkan lingkungan hidup yang sehat tidak boleh dijerat hukum pidana atau digugat perdata.

Namun, jika benar negara melindungi warganya dalam perjuangan ekologis, mengapa surat panggilan itu sampai terbit? Mengapa trauma para nelayan dibalas dengan intimidasi hukum?

Kita bisa berasumsi baik bahwa ini hanya miskomunikasi antarinstansi, atau mungkin inersia birokrasi yang lamban. Tapi publik juga tak bisa menutup mata ketika nelayan memprotes kerusakan lingkungan yang menyentuh perut dan nyawa mereka, reaksi hukum justru tajam ke bawah. Sebaliknya, perusahaan yang diduga mencemari laut masih nyaman dalam senyap.

Kepolisian menyatakan penegakan hukum adalah langkah terakhir. Tapi faktanya, dalam banyak kasus, hukum sering kali justru dijadikan alat untuk membungkam, bukan menyelesaikan. Begitulah wajah hukum ketika bertemu rakyat kecil yang menuntut keadilan ekologis, tajam, represif, dan abai terhadap latar belakang penderitaan mereka.

Bayangkan betapa ironisnya mereka yang hidup dari laut, yang kini kehilangan penghasilan, justru dikriminalisasi. Sedangkan entitas bisnis besar yang limbahnya mengalir dan merusak, malah sulit disentuh.

Kondisi ini mengulang cerita-cerita pilu di banyak tempat di Indonesia, dari Kendeng hingga Kalimantan. Negara hadir, tapi seringkali tidak untuk rakyat. Hukum ditegakkan, tapi seringkali bukan untuk keadilan.

Negara wajib hadir bukan hanya sebagai penegak aturan, tetapi sebagai penjamin keadilan substantif. Dalam konteks kasus ini, aparat penegak hukum seharusnya tidak hanya sibuk membidik pasal untuk para nelayan, tetapi juga menyelidiki indikasi pelanggaran lingkungan oleh korporasi.

Panggilan terhadap nelayan harus segera dihentikan. Bukan karena tekanan publik atau intervensi menteri, tapi karena ini adalah perintah moral konstitusi melindungi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (Pasal 28H ayat 1 UUD 1945).

Jika nelayan Muara Badak bisa dikriminalisasi hari ini, siapa yang bisa menjamin kita masyarakat sipil lainnya tidak akan bernasib sama esok hari ketika memperjuangkan lingkungan, udara, dan air bersih?

Kasus ini bukan milik nelayan Muara Badak semata. Ini adalah ujian bagi kita semua sejauh mana kita peduli ketika rakyat kecil melawan kerusakan yang mengancam masa depan bumi kita.

Jika hukum diam, kita tidak boleh.
Jika negara lambat, kita harus bersuara cepat.
Dan jika nelayan dipidanakan hanya karena bersuara, maka diam kita adalah bentuk pengkhianatan.

Oleh : Andi Pangerang
Catatan Penutup:
Tulisan ini merupakan opini dan bentuk solidaritas terhadap para pejuang lingkungan hidup di Kalimantan Timur dan seluruh Indonesia. Jangan biarkan mereka berjuang sendiri.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini