Selasa, 23 Desember 2025

Pakar UGM Nilai IUP Tambang untuk Ormas Lebih Banyak Mudarat, PBNU Nyaris Terbelah

Ilustrasi Tambang Batu Bara

Jakarta, TrenNews.id – Sejak awal, pakar energi ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, konsisten mengkritisi kebijakan pemberian izin usaha pertambangan (IUP) kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan. Ia menilai kebijakan yang diputuskan pada era Presiden Joko Widodo itu lebih banyak membawa mudarat dibanding manfaat.

Fahmy menilai kebijakan tersebut kini terbukti memicu kegaduhan internal di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

“Kan sudah saya sampaikan sejak awal bahwa kebijakan ini lebih banyak mudarat ketimbang manfaat. Biarlah ormas keagamaan konsisten mengurus umat. Jangan diarahkan menjadi pemain tambang. Terbukti sekarang terjadi kegaduhan luar biasa di PBNU,” ujar Fahmy saat berbincang dengan Inilah.com di Jakarta, Sabtu (20/12/2025).

Ia menegaskan, kebijakan bagi-bagi IUP tambang kepada ormas keagamaan berpotensi menimbulkan berbagai persoalan di kemudian hari, termasuk menggiring oknum ormas menjadi broker konsesi tambang.
“Bisnis tambang itu sangat spesifik. Perhitungan ekonominya harus kuat dan matang. Mohon maaf, saya kira itu bukan ranah ormas keagamaan,” imbuhnya.

Fahmy juga mencurigai adanya motif politik di balik kebijakan tersebut. Menurutnya, kebijakan itu bisa saja dimaksudkan untuk mengamankan kepentingan politik pasca-Jokowi lengser dari kursi presiden.

Ia menyebut, kemungkinan kebijakan tersebut digunakan sebagai alat politik balas budi untuk ‘mengikat’ dua ormas keagamaan terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

“Saat memberikan tambang ke NU dan Muhammadiyah, paling tidak ada dua tujuan. Pertama, melindungi Jokowi dan keluarga setelah lengser. Kedua, memuluskan langkah politik Kaesang sebagai gubernur dan Gibran menjadi RI-1 pada 2029,” ungkapnya.

Kutukan Tambang di Bintang Sembilan
Memanasnya suasana internal PBNU turut disorot Ketua PBNU, Ulil Absar Abdalla. Ia mengungkapkan adanya perbedaan pandangan tajam antara Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dan Sekretaris Jenderal PBNU Saifullah Yusuf (Gus Ipul) terkait penentuan investor pengelola konsesi tambang.

“Perbedaan pandangan antara Gus Yahya dan Gus Ipul inilah yang membuat hubungan ini menjadi bermasalah,” kata Gus Ulil dalam siniar Gaspol!, Kamis (27/11/2025).

Menurut Gus Ulil, Gus Yahya menginginkan pergantian investor agar sejalan dengan kehendak pemerintahan saat ini. Investor lama dinilai tidak memiliki posisi politik yang cukup kuat.

Sebaliknya, Gus Ipul bersikukuh mempertahankan investor lama yang telah menjalin kerja sama sejak era pemerintahan Jokowi.

“Ketika zaman Pak Jokowi ada investor tertentu yang ditunjuk mengelola tambang ini. Kekuasaan yang baru menghendaki investor yang lain,” jelasnya.

Gus Ulil menambahkan, Gus Yahya berprinsip agar PBNU mengikuti kehendak pemerintah saat ini demi menjaga harmoni dengan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

“Daripada kita bertengkar dengan pihak pemerintah, sudahlah kita ikut saja,” ujar Gus Ulil menirukan prinsip Gus Yahya.

Sementara itu, Gus Ipul berpandangan bahwa komitmen dengan investor lama harus dijaga, meski posisi politik investor tersebut saat ini dinilai kurang menguntungkan.

Perbedaan sikap ini kian memanas hingga berujung pada konflik terbuka antar kubu, bahkan saling melakukan pemecatan.

Situasi tersebut dinilai sangat disayangkan, mengingat Nahdlatul Ulama—organisasi yang didirikan KH Hasyim Asy’ari pada 31 Januari 1926—terancam terbelah akibat kepentingan politik dan ekonomi.

Manuver politik penguasa dinilai telah menyeret elite NU berlambang bintang sembilan ke dalam pusaran konflik duniawi yang seharusnya bisa dihindari.

Sumber: Inilah.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini