Jumat, 22 November 2024

Perkuat Sinergi dengan Keuskupan Larantuka, PLN Komitmen Wujudkan Lembata sebagai Pulau 100 Persen Energi Hijau Lewat Geothermal PLTP Atadei 10 MW

Pihak Keuskupan Larantuka bersama PT.PLN berpose bersama usai melakukan sosialisasi

LEMBATA, TRENNEWS.ID – Dalam rangka memperkukuh sinergi dengan tokoh agama di sekitar kawasan pembangunan geothermal Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Atadei 10 MW dan mewujudkan Lembata sebagai Pulau 100 persen energi hijau, PT PLN (Persero) melalui Unit Induk Pembangunan Nusa Tenggara (UIP Nusra) berkunjung ke rumah pastoran Gereja St. Maria Baneux Kota Lewoleba, Kecamatan Nubatukan, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur.

Dalam pertemuan yang dihadiri oleh Uskup Larantuka, Mgr. Frans Kopong Kung dan jajarannya, Vikjen Romo Gabriel Unto Da Silva dan Sekjen Keuskupan Larantuka, Romo Ancis Kwaelaga, serta Romo Deken Lembata, Romo Sinyo Da Gomez, PT PLN (Persero) UIP Nusra memaparkan sejumlah tahapan dan proses-proses adat yang telah dan akan dilakukan dalam mendukung keberlanjutan pembangunan geothermal PLTP Atadei untuk mewujudkan Lembata sebagai pulau 100 persen energi hijau.

Adapun rangkaian tahapan yang telah dilaksanakan tersebut, di antaranya ekspos ke pemerintah daerah dalam forum komunikasi pimpinan daerah, pelaksanaan studi banding ke Geothermal Kamojang yang diikuti Forkopimda dan perwakilan masyarakat, seminar budaya Atakore, sosialisasi pengembangan panas bumi, sosialisasi pengadaan tanah di Desa Atakore dan Desa Nubahaeraka, serta identifikasi dan inventarisasi lahan maupun tegakan di lokasi pembangunan PLTP Atadei.

Di samping itu, pemerintah desa serta pemangku adat setempat juga telah melakukan ritual adat Ahar Tu di lokasi Ina Kar, pertanda dimulainya kegiatan di lokasi seturut tradisi budaya setempat.

“Hari ini (7 Oktober 2024-red) kami mengumumkan hasil identifikasi kepemilikan lahan dan inventarisasi tegakan di Desa Nubahaeraka. Seluruh tahapan dan proses sosialisasi hingga seminar budaya juga berjalan lancar,” ungkap Manager Pertanahan dan Aset PT PLN (Persero) UIP Nusra, Bobby Robson Sitorus.

Dialog tersebut juga membahas kendala yang dialami sepanjang proses pembangunan, termasuk upaya penolakan dari oknum yang mengaku sebagai pemilik lahan.

Terkait kendala tersebut, Uskup Larantuka Mgr. Fransiskus Kopong Kung menyimpulkan bahwa kemungkinan alasan di balik penolakan tersebut lantaran masyarakat belum memahami pentingnya pembangunan PLTP Atadei atau ada hal-hal yang diinginkan namun belum sempat tersampaikan. Tetapi menurutnya, jika adat sudah dijalankan maka pembangunan harus dituntaskan.

“Dalam proses pembangunan ada setuju dan tidak. Kalau proses pengetahuan dan aspek adat jalan baik, ada persetujuan baik dari masyarakat lokal, maka kerjakan saja. Ini bagian dari proses pembangunan. Tinggal bagaimana mengelola penolakan dengan baik agar tidak mengganggu pekerjaan,” ucap Mgr. Fransiskus Kopong Kung.

Uskup Larantuka juga menegaskan apabila ada ditemui rohaniawan yang ikut dalam upaya penolakan, maka hal tersebut turut menjadi tugas keuskupan. “Jangan sekadar tolak supaya ramai, ataukah dampak bahaya itu apakah ada, bagaimana mencegah. Kalau ada bahaya, jangan tangkap bahayanya saja. Para ahli ada solusi, pengendalian dan kontrol. Saya percayakan pada proses yang sudah jalan. Urusan di lapangan tetap dijalankan PLN dan jajaran pemerintah,” ujar Mgr. Fransiskus Kopong Kung.

Senada dengan Mgr. Fransiskus Kopong Kung, Sekjen Keuskupan Larantuka, Romo Ancis Kwaelaga, merasa skeptis dengan gerakan penolakan tersebut. Pasalnya segala upaya sosialisasi hingga menggandeng ahli geothermal telah dilakukan PT PLN (Persero). Ia berharap proses tersebut, termasuk perhatian pada adat dan budaya setempat, dapat terus dilakukan dan dipertahankan PLN hingga menjangkau seluruh masyarakat, khususnya masyarakat terdampak.

“Dampak aspek budaya mendarah daging dalam diri umat. Kalau ada teori baru mereka sulit menerima. Budaya Lamaholot bertumpu pada kekuatan Ama Lerawulan dan Ina Tana Ekan,” ujar Romo Ancis Kwaelaga.

Romo Ancis Kwaelaga menegaskan bahwa energi baru terbarukan (EBT) hendaklah dapat dikembangkan dengan satu konteks ramah lingkungan dan dimanfaatkan untuk kebaikan masyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini