Seragam Gratis, Harga Mahal: Ketika Gagasan Baik Terjebak di Meja Anggaran
Jika seragam sekolah adalah simbol kesetaraan, maka ironi terbesar dari kebijakan ini justru hadir dari mereka yang mengelolanya. Pemerintah Kota Bontang, melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud), kembali mengeluarkan program ‘seragam gratis’ bagi siswa SD dan SMP. Di atas kertas, kebijakan ini terdengar penuh kasih, meringankan beban orangtua. Namun di balik itu, tersembunyi sejumlah pertanyaan kritis yang tak boleh dibiarkan lewat begitu saja.
Anggaran yang digelontorkan tidak kecil, miliaran rupiah. Untuk jenjang SD saja, seragam sekolah dipatok Rp7 miliar, ditambah sepatu Rp4,6 miliar dan tas Rp3,4 miliar. Di SMP, anggaran pun tak kalah ‘gemuk’: Rp3,8 miliar untuk seragam, Rp2,2 miliar untuk sepatu, dan Rp1,6 miliar untuk tas. Jika ditotal, publik sedang menyaksikan proyek pengadaan yang nilainya hampir menembus Rp23 miliar hanya untuk “perlengkapan wajib” murid.
Pertanyaannya benarkah ini murni demi meringankan beban rakyat, ataukah ini justru proyek pengadaan terselubung yang menyusup lewat jargon populis?
Tak ada yang menyangkal bahwa pendidikan dasar wajib didukung penuh oleh negara. Namun ketika pembagian seragam, tas, dan sepatu memakan anggaran miliaran, publik berhak curiga. Apalagi, prosesnya tak jarang molor, pengiriman bahan tersendat, penjahit lokal dikejar target, dan distribusi acak-acakan. Target rampung di Agustus? Sementara tahun ajaran baru sudah di depan mata. Ini bukan hanya soal efisiensi, tapi soal niat mengapa program rutin tahunan seperti ini seolah baru ‘diingat’ menjelang ajaran baru?
Apakah tidak ada cara yang lebih sederhana, murah, dan cepat dalam memastikan siswa memiliki kebutuhan dasarnya? Mengapa tidak memberi subsidi langsung atau voucher belanja seragam di toko lokal sekalian mendorong ekonomi kecil?
Pemerintah mengatakan bahwa 60 penjahit lokal akan diberdayakan. Sekilas ini tampak sebagai keberpihakan. Namun mari kita jujur, dalam proyek dengan angka sebesar ini, aktor utamanya bukan penjahit rumahan, tapi penyedia besar yang duduk nyaman di balik tender e-katalog. Penjahit hanya ujung tombak yang menangani sisa pekerjaan sementara porsi anggaran terbesar kemungkinan sudah ‘dijahit rapi’ oleh pemilik modal besar.
Yang membuat miris, Disdikbud malah mengeluarkan imbauan kepada sekolah agar tidak memaksa orangtua membeli seragam sendiri. Seolah-olah kesalahan bisa muncul dari pihak sekolah atau orangtua, padahal keterlambatan dan kekacauan justru bersumber dari sistem pengadaan itu sendiri.
Bukankah lebih masuk akal jika justru Disdikbud mewajibkan dirinya sendiri untuk tepat waktu, transparan, dan efisien?
Kita terlalu sering terjebak pada simbol. Seragam dianggap penanda keadilan pendidikan, seolah semua anak menjadi sama hanya karena memakai pakaian yang sama. Padahal, pendidikan tidak diukur dari warna kain, tetapi dari kualitas guru, akses buku, dan ruang kelas yang layak. Anak-anak tak belajar lebih pintar hanya karena memakai sepatu yang disediakan pemkot.
Slogan “Berbenah” yang terpampang di tas mereka hanyalah gimik jika tidak dibarengi dengan evaluasi menyeluruh atas cara negara hadir di ruang-ruang sekolah. Jika semangatnya benar-benar berbenah, maka mulailah dengan menyisir kebocoran anggaran, bukan menjahit proyek demi pencitraan.
Kita hidup di zaman ketika kebaikan bisa diperdagangkan, dan bantuan bisa menjadi panggung politik. Program seragam gratis bisa jadi niat baik, tapi jika anggarannya disulap jadi proyek, dan distribusinya memaksa murid memakai seragam setengah jadi, maka ini bukan lagi bantuan ini adalah pembodohan.
Orangtua murid berhak mendapatkan kepastian, bukan janji. Anak-anak berhak belajar dengan nyaman, bukan memakai seragam lusuh akibat keterlambatan. Dan publik, berhak tahu: berapa harga sesungguhnya dari sebuah “niat baik” pemerintah?
Redaksi

Tinggalkan Balasan