Shin Tae Yong Dengan Paradigma Baru Bontang
Langkah besar apa yang dilakukan seorang Shin Tae Yong terhadap kesebelasan U-23 kita sehingga mampu melompat melampaui apa yang pernah pendahulu mereka torehkan di Timnas? Bahkan bisa disebut jauh dari apa yang bisa kita bayangkan? Banyak analisa dan komentar dari pihak-pihak penggemar bola. Selama ini, termasuk saya, sudah hampir sampai pada kesimpulan bahwa olah raga bola sepak ini kita lepaskan saja. Kita sama sekali tak punya bakat bola. DNA kita tidak match dengan lapangan hijau, kita cocoknya pencak silat, takraw, lari karung, atau badminton. Kekecewaan yang bertumpuk-tumpuk setiap kali menonton mereka jadi bulan-bulanan kesebelasan negara lain membuat saya malas melihat mereka main. Terakhir ini, saya hanya menonton video-video pendek mereka sebelum teryakinkan bahwa sepak bola kita melalui U-23 sedang dalam fase bangkit dan menerobos.
Jawaban pertanyaan pembuka di atas terletak pada apa yang kita sebut perubahan dan kebaruan. Shin Tae Yong mengubah banyak hal-hal elementer yang berhubungan dengan disiplin, soliditas, paradigma, dan konsolidasi sebuah tim. Dari kebiasaan makan sampai keseriusan berlatih, dari pengetahuan taktikal sampai pengenalan setiap sudut dan segmen lapangan, bahkan dari gaya hidup sampai laku profesional. Shin Tae Yong misalnya akan sangat marah jika ada anak didiknya yang ketahuan mengonsumsi mie instan. Atau ada pemain yang sebelum latihan duduk-duduk sambil bercanda di pinggir lapangan. Termasuk gaya hidup dan penampilan pemain semua tersoroti secara detail. Dulu, beberapa pemain yang kita anggap potensial akhirnya hanya berhenti di tempat hiburan dengan potongan rambut atau tatto yang macam-macam di tubuh. Kini, Shin Tae Yong mengarahkan mereka berhenti dari roman selebritas demikian, ia memerintahkan mereka meniru etos disiplin dan up grade skill dari pemain-pemain besar dunia. Bukan meniru gaya hidup sebagian dari mereka yang glamour penuh skandal aneh-aneh.
Shin Tae Yong tak hanya mengajarkan jurus peningkatan skill individu, olah bola, atau membangun fisik yang prima; Shin Tae Yong juga mengajarkan secara rinci bagaimana seorang pemain menghafal secara geografi setiap sudut dan segmen lapangan. Seorang pemain harus mampu hidup bersama irama peta lapangan, mengetahui siapa penguasa setiap segmen, baik kawan mau pun lawan. Pengetahuan itu mengantarkan mereka pada naluri penetrasi secara kolektif dalam satu orkestrasi tim.
Hasilnya? Kalau dulu mereka hanya mampu kontrol bola dalam maksimal tiga atau empat kali dari kaki ke kaki sebelum blunder, salah oper, atau direbut lawan; kini mereka mampu melakukan tiki taka mirip Barca, atau berlari kencang meniru Liverpool melawan West Ham. Satu lagi, pengetahuan mereka tentang peta, targeting, dan segmentasi lapangan membuat mereka mampu memanfaatkan setiap lebar lapangan sampai sudut paling sempit. Mereka tak lagi bergerombol ke mana bola berada. Mereka menyebar dalam misi dan tugas masing-masing.
Apakah hanya sampai di situ? Tidak. Mereka telah memiliki kecukupan kemampuan improvisasi di area penalti lawan atau di wilayah pertahanan sendiri. Sebuah gol atau penyelamatan bisa dilakukan oleh pemain mana saja. Mereka telah hampir memahami secara baik filosofi total football. Bola kita telah memasuki babak baru yang bertumbuh. Kita hanya perlu mempertahankan determinasi ini secara konsisten di masa yang akan datang.
Tinggalkan Balasan