Telunjuk Menunjuk ke Arah yang Sama: Tanda Kolaka Utara Kembali Searah
“Telunjuknya sudah memberikan sinyal bahwa sudah satu arah Kolaka Utara lebih baik.”
Kalimat ini mungkin terdengar sederhana, tetapi bagi yang memahami dinamika politik dan kepemimpinan di Kolaka Utara, ia sarat makna. Sebab dalam politik, gestur tubuh kerap lebih jujur daripada kalimat panjang. Sebuah arah yang ditunjukkan oleh telunjuk bisa menandakan kesepahaman, kesepakatan, bahkan kembalinya harmoni di pucuk kepemimpinan daerah.
Beberapa waktu terakhir, publik Kolaka Utara menyaksikan dua figur penting daerah ini Bupati H. Nur Rahman Umur dan Wakil Bupati H. Jumarding tampil bersama dalam suasana yang akrab dan penuh kehangatan. Sekilas, mungkin itu hanya peristiwa biasa. Namun di balik momen itu, ada pesan kuat yang ingin disampaikan: bahwa roda pemerintahan kini kembali berputar ke arah yang sama. Bahwa setelah dinamika politik pasca pilkada yang penuh warna, kini sinyal kebersamaan mulai kembali menyala.
Politik sering kali tidak diucapkan, melainkan diperlihatkan. Dalam konteks ini, “telunjuk” adalah metafora tentang arah dan kepemimpinan. Jika selama ini banyak yang menafsirkan adanya perbedaan pandang antara dua nahkoda utama Kolaka Utara, maka kini gestur itu memberi sinyal bahwa perahu besar bernama Kolaka Utara mulai berlayar dalam jalur yang sama.
Dan publik merindukan momen seperti ini. Sebab masyarakat tidak butuh pemimpin yang saling mengalahkan, melainkan saling melengkapi. Tidak perlu adu pengaruh, yang dibutuhkan adalah adu gagasan dan kinerja. Karena pada akhirnya, yang diingat sejarah bukan siapa yang paling berkuasa, melainkan siapa yang paling berjasa.
Dalam kepemimpinan daerah, “arah” jauh lebih penting daripada kecepatan. Sebab tanpa arah yang jelas, percepatan hanya akan membawa kita semakin cepat tersesat. Ketika Bupati dan Wakil Bupati satu pandangan dalam visi pembangunan, itu bukan hanya simbol keserasian politik, tetapi juga jaminan stabilitas pemerintahan. Investor akan lebih percaya, birokrasi bekerja lebih tenang, dan masyarakat bisa menaruh harapan tanpa ragu.
Namun satu arah juga tidak boleh dimaknai sebagai satu suara yang menutup ruang kritik. Justru dalam sinergi yang sehat, kritik menjadi vitamin untuk memperkuat langkah. Kolaka Utara membutuhkan ruang dialog antara eksekutif, legislatif, dan masyarakat sipil agar pembangunan berjalan bukan karena kehendak segelintir orang, tetapi berdasarkan kebutuhan nyata di lapangan.
Kebersamaan dua pemimpin daerah adalah simbol yang kuat. Tetapi simbol hanya akan bermakna jika diterjemahkan dalam substansi kebijakan. Publik menunggu langkah konkret yang bisa dirasakan pemerataan pembangunan, pelayanan publik yang cepat, pengelolaan sumber daya alam yang berkeadilan, serta penguatan ekonomi masyarakat di desa-desa.
Sebagai daerah yang kaya akan potensi pertanian, kehutanan, dan sumber daya alam, Kolaka Utara punya peluang besar menjadi daerah yang mandiri. Namun peluang itu hanya akan nyata jika arah pembangunan dijaga tetap lurus dan fokus. Satu arah bukan berarti jalan satu orang, melainkan jalan bersama menuju cita-cita yang sama.
Kepemimpinan bukan hanya soal mengatur, tapi juga merawat kepercayaan. Setelah masa-masa politik yang penuh rivalitas, kepercayaan publik perlu dipulihkan dengan bukti kerja nyata. Itulah mengapa kebersamaan antara H. Nur Rahman Umur dan H. Jumarding menjadi penting untuk dipertahankan. Bukan semata demi menjaga citra politik, melainkan demi memastikan masyarakat tidak lagi terbelah oleh kepentingan.
Kepercayaan publik adalah modal yang paling mahal dalam pemerintahan. Sekali hilang, sulit untuk dikembalikan. Tapi jika dua pemimpin utama daerah kompak menjaga harmoni, maka kepercayaan itu akan tumbuh kembali, bahkan mungkin lebih kuat dari sebelumnya.
Dan saat kepercayaan sudah kembali, maka Kolaka Utara benar-benar akan melangkah menuju babak baru pembangunan yang berpihak pada rakyat, bukan pada ego politik.
Masyarakat Kolaka Utara adalah saksi dan sekaligus penilai. Mereka tahu mana janji dan mana bukti. Mereka menunggu bukan sekadar foto kebersamaan, tapi hasil kerja yang bisa dirasakan.
Mereka ingin melihat sekolah-sekolah di pedalaman makin layak, jalan antar kecamatan yang lebih mulus, dan pelayanan kesehatan yang lebih cepat. Mereka ingin melihat birokrasi yang bekerja dengan hati, bukan hanya dengan tanda tangan.
Karena bagi rakyat, “arah yang satu” berarti kehidupan yang lebih baik, bukan sekadar kesepakatan politik di atas kertas. Bila telunjuk itu kini menunjuk ke arah yang sama, maka biarlah langkah kaki pemerintah daerah menyusuri jalan panjang pembangunan tanpa kembali saling berlawanan.
Telunjuk yang menunjuk ke arah yang sama bukan hanya simbol politik, tapi tanda kesadaran bahwa kepemimpinan adalah amanah. Dalam bahasa spiritual, telunjuk adalah jari yang digunakan untuk bersyahadat penanda keteguhan dan kesatuan niat.
Mungkin di situ pula maknanya bahwa pemimpin yang bersatu dalam niat tulus akan membawa daerahnya pada keberkahan.
Kini bola ada di tangan kedua pemimpin Kolaka Utara. Masyarakat sudah memberi harapan, waktu sudah memberi kesempatan.
Jika arah sudah satu, semoga langkah juga seirama.
Dan jika benar “telunjuk” itu menunjuk ke arah yang sama, semoga arah itu benar-benar menuju satu tujuan,
Kolaka Utara yang lebih baik.
Penulis: Asse
Media Center NR Juara

Tinggalkan Balasan