Kamis, 14 Agustus 2025

Jangan Lupakan Ruh Budaya Kita: Refleksi atas Panggung Hiburan HUT Muna Barat

La Ode Lisman

OPINI – Muna Barat bukan sekadar sebuah wilayah administratif. Ia adalah rumah bagi nilai-nilai luhur, adat istiadat, dan budaya yang diwariskan turun-temurun. Di tengah arus zaman yang terus berubah, kearifan lokal kita tetap menjadi fondasi yang meneguhkan identitas kolektif. Dalam kehidupan masyarakat Muna Barat, kegembiraan tak pernah berdiri sendiri. Ia selalu dibingkai oleh etika, keteduhan, serta penghormatan terhadap ruang dan waktu.

Dalam narasi budaya kita, kesenian tradisional seperti Karia’a, Lariangi, maupun Moana, bukan sekadar hiburan. Mereka adalah ekspresi hidup yang sarat makna; mengajarkan sopan santun, menanamkan nilai-nilai luhur, dan mengakar kuat dalam ruh masyarakat. Budaya bukanlah tontonan kosong, melainkan cerminan nilai dan jati diri.

Namun sayangnya, dalam momentum perayaan HUT Kabupaten Muna Barat yang baru saja digelar, kita seolah melupakan akar itu. Panggung hiburan yang disiapkan penuh semangat justru menampilkan wajah yang terasa asing bagi budaya kita. Musik hingar-bingar, ekspresi bebas yang nyaris tanpa kendali, dan euforia yang meluap-luap menjadi warna utama yang tampak menenggelamkan esensi sakral dari perayaan itu sendiri.

Apakah ini wajah budaya yang ingin kita wariskan kepada generasi muda? Ataukah kita secara perlahan sedang mengikis makna perayaan yang selama ini kita jaga dengan penuh hormat? Kita tentu tidak menolak hiburan modern. Dunia berubah, dan kita pun tak bisa tinggal diam dalam nostalgia. Namun, perubahan tidak berarti melupakan. Inovasi seharusnya berdiri berdampingan dengan pelestarian.

Panggung-panggung besar, apalagi dalam momentum sakral seperti hari jadi daerah, sejatinya menjadi ruang pemuliaan budaya lokal. Bukan ajang hura-hura tanpa akar. Seharusnya, kesenian tradisional tampil sebagai wajah utama. Para penari Karia’a seharusnya berada di garis depan. Para pemusik lokal layak mendapat tempat terhormat. Para pelestari budaya harusnya diberi panggung, bukan disisihkan di balik dentuman speaker yang menggelegar tanpa arah.

Modernisasi tak harus meminggirkan tradisi. Kita bisa merayakan kemajuan tanpa mencabut akar budaya kita. Kita bisa menyambut musik kekinian tanpa harus mengorbankan nilai-nilai yang sudah tertanam kuat di masyarakat. Justru di era yang serba instan ini, kita perlu semakin tegas menegaskan jati diri: bahwa Muna Barat adalah tanah budaya, bukan sekadar lokasi perayaan.

Mari kita renungkan bersama, jika bukan kita yang menjaga dan mengangkat budaya sendiri, siapa lagi? Jika bukan di tanah kelahiran sendiri, di mana lagi budaya itu mendapat tempat?

Semoga ke depan, perayaan hari jadi daerah kita bukan hanya menjadi ajang euforia sesaat, tetapi menjadi ruang kontemplatif dan selebratif yang menggugah kembali ruh budaya kita agar identitas Muna Barat tetap kokoh di tengah arus globalisasi.

Oleh: La Ode Lisman

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini