Senin, 6 Oktober 2025

Ketika WTP Jadi Kedok Korupsi Anggaran

Keterangan Foto: Abdul Muthalib, S.H., jurnalis dan pemerhati hukum yang menulis opini berjudul “Ketika WTP Jadi Kedok Korupsi Anggaran”, saat berada di ruang diskusi dengan menggunakan jas almamater kuning. (Sumber foto : istimewa)

Oleh: Abdul Muthalib, S.H.
Jurnalis & Pemerhati Hukum

“Equum et bonum est lex legum.”
Keadilan dan kebaikan adalah hukum dari segala hukum.

Motto kuno dari filsafat hukum ini selalu saya pegang dalam menjalankan profesi sebagai jurnalis sekaligus pemerhati hukum. Sebab, tugas kita bukan sekadar menuliskan fakta, tetapi juga memperjuangkan nilai keadilan dan kebaikan yang seharusnya menjadi dasar setiap kebijakan publik.

Namun, apa yang terjadi di Kabupaten Muaro Jambi justru jauh dari cita-cita itu. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI atas LKPD Tahun 2023 mengungkap potensi kerugian negara hampir Rp3,8 miliar. Ironisnya, semua itu terjadi saat daerah ini berbangga diri dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

Opini WTP kerap dipoles sebagai prestasi. Tetapi di balik itu, BPK mencatat praktik yang merugikan rakyat: proyek fisik PUPR dengan kerugian lebih dari Rp1,9 miliar, honorarium konsultan bermasalah hingga Rp390 juta, gaji ASN yang sudah meninggal namun masih dibayarkan, serta penyimpangan Dana BOS dan hibah dengan nilai ratusan juta rupiah.

Apakah ini sekadar “kelebihan bayar” dan “kekurangan volume” seperti bahasa halus BPK? Atau sebenarnya sebuah rekayasa yang disengaja? Publik tentu bisa menilai. Mustahil kontraktor, konsultan pengawas, dan pejabat penerima hasil pekerjaan tidak tahu bahwa pekerjaan di lapangan jauh dari kontrak.

Yang lebih menyakitkan, Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa (UKPBJ)—yang seharusnya menjaga transparansi—malah ikut terseret dalam persoalan honor tenaga ahli. Ketika lembaga pengadaan sudah goyah integritasnya, bagaimana publik bisa percaya pada proses tender dan kontrak pemerintah?

Bagi rakyat kecil, semua istilah teknis itu sederhana saja: uang negara habis, pembangunan tak sebanding.

Karena itu, opini WTP tidak boleh dijadikan tameng. WTP hanya menilai laporan keuangan, bukan menafikan adanya korupsi di lapangan. Jika WTP dipakai untuk menutupi praktik penyalahgunaan wewenang, maka WTP hanyalah kedok korupsi anggaran.

Muaro Jambi butuh keberanian moral: mengembalikan uang rakyat, menindak oknum yang bermain, dan membenahi sistem pengawasan. Tanpa itu, rakyat hanya disuguhi laporan indah di atas kertas, sementara keadilan dan kebaikan—yang seharusnya menjadi hukum tertinggi—terus diinjak-injak.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini