Perkap Penyerangan Polisi: Kepastian Hukum atau Ancaman Reformasi Kepolisian?
TrenNews.id – Reformasi kepolisian di Indonesia pasca-Orde Baru merupakan salah satu agenda besar demokratisasi. Pemisahan Polri dari TNI pada tahun 1999 dimaksudkan agar kepolisian dapat benar-benar menjadi aparat sipil yang profesional, akuntabel, humanis, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Masyarakat berharap Polri tak lagi menjadi alat kekuasaan yang represif, melainkan pelindung dan pengayom warga negara.
Namun, dua dekade lebih reformasi berjalan, sejumlah regulasi internal Polri justru menimbulkan tanda tanya serius. Salah satunya adalah terbitnya Peraturan Kapolri (Perkap) tentang penyerangan oleh anggota Polri. Regulasi ini, yang mengatur tata cara dan batasan penggunaan kekuatan dalam situasi tertentu, memicu perdebatan. Di satu sisi, ia dianggap memberi kepastian hukum bagi aparat agar tidak ragu bertindak. Tetapi di sisi lain, Perkap ini dinilai berpotensi membuka ruang bagi tindakan kekerasan berlebihan dan penyalahgunaan wewenang.
Perkap ini pada dasarnya dirancang agar anggota Polri memiliki pedoman hukum yang jelas dalam menghadapi situasi ancaman. Misalnya, bagaimana aparat boleh menggunakan kekuatan, hingga sejauh mana penggunaan senjata api dapat dibenarkan. Dengan adanya aturan ini, aparat di lapangan diharapkan tidak lagi ragu mengambil tindakan. Dari perspektif hukum, kepastian ini tentu penting: polisi yang menjalankan tugas tidak seharusnya dihantui ketakutan akan jerat hukum karena bertindak di lapangan.
Tetapi, masalah muncul ketika rumusan pasal-pasal dalam Perkap ini ternyata membuka ruang tafsir yang luas. Rumusan yang multitafsir berpotensi menjadi alat legitimasi bagi tindakan represif. Frasa-frasa seperti “ancaman serius terhadap anggota Polri” atau “situasi yang membahayakan keamanan umum” bisa dimaknai berbeda-beda, tergantung siapa yang menafsirkannya. Dalam konteks ini, aparat bisa merasa memiliki “pembenaran hukum” untuk menggunakan kekuatan, bahkan dalam kondisi yang seharusnya dapat diredam dengan cara-cara persuasif.
Jika dibandingkan dengan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), Perkap ini memang mengisi ruang yang selama ini kosong. KUHAP lebih banyak mengatur kewenangan penyidik terkait penangkapan, penggeledahan, atau penyitaan, tetapi tidak detail soal penggunaan kekuatan fisik.
Sebelum Perkap ini, Polri sebenarnya sudah memiliki regulasi yang menekankan aspek hak asasi manusia, seperti Perkap No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Perkap tersebut menegaskan bahwa penggunaan kekuatan harus proporsional, perlu, dan menghormati martabat manusia. Dengan kata lain, regulasi lama lebih menekankan pendekatan humanis dan berbasis HAM.
Pertanyaannya: apakah Perkap terbaru ini masih sejalan dengan semangat itu, atau justru kembali menyeret Polri ke wajah lama yang represif?
Keraguan publik tidak lahir dari ruang kosong. Pengalaman masyarakat dengan aparat kepolisian masih diwarnai berbagai kasus penyalahgunaan kekuatan. Dari penanganan aksi demonstrasi mahasiswa, konflik agraria, hingga operasi pemberantasan kriminalitas jalanan, sering kali publik melihat polisi bertindak berlebihan.
Dalam konteks itu, Perkap penyerangan polisi justru dikhawatirkan menjadi “tameng hukum” bagi tindakan represif. Misalnya, dalam aksi unjuk rasa, aparat bisa saja mengklaim adanya “serangan” dari massa, lalu menggunakan Perkap ini untuk membenarkan penggunaan kekerasan. Padahal, demokrasi menjamin hak warga untuk menyampaikan pendapat di muka umum.
Maka wajar jika muncul pertanyaan: apakah Perkap ini ditujukan untuk melindungi masyarakat, atau justru lebih melindungi aparat dari konsekuensi hukum atas tindakannya?
Bila kita menilik cita-cita reformasi kepolisian, jelas bahwa Perkap ini berpotensi menjadi langkah mundur. Reformasi tidak hanya soal merombak struktur, tetapi juga mengubah kultur. Kultur lama yang represif harus ditinggalkan. Regulasi internal Polri seharusnya justru meneguhkan wajah baru kepolisian yang humanis, bukan memberi ruang legitimasi bagi tindakan kekerasan.
Saya berpendapat bahwa Perkap ini memang memiliki relevansi untuk memberi kepastian hukum, tetapi tanpa pengawasan yang kuat, ia akan berbahaya. Kepastian hukum untuk aparat tidak boleh dibeli dengan mengorbankan hak asasi manusia warga negara.
Agar Perkap ini tidak menjadi bumerang bagi reformasi kepolisian, ada beberapa langkah mendesak yang perlu dilakukan:
Revisi Pasal Multitafsir. Rumusan pasal yang membuka ruang tafsir luas harus diperjelas. Setiap frasa tentang “ancaman” atau “penyerangan” perlu didefinisikan secara ketat agar tidak disalahgunakan.
Pengawasan Internal dan Eksternal. Propam memang ada, tetapi itu tidak cukup. Perlu keterlibatan lembaga eksternal seperti Komnas HAM, Ombudsman, bahkan DPR, untuk mengawasi penerapan Perkap ini.
Pelatihan HAM Berkelanjutan. Aparat di lapangan harus dibekali pemahaman bahwa penggunaan kekuatan adalah langkah terakhir, bukan yang pertama. Proporsionalitas dan penghormatan martabat manusia harus jadi prinsip utama.
Dialog Publik. Polisi bukan entitas yang bekerja di ruang hampa. Perlu ada forum dialog dengan masyarakat sipil, akademisi, dan media untuk membicarakan implementasi Perkap ini. Tanpa transparansi, regulasi apa pun akan dicurigai sebagai alat represif.
Reformasi kepolisian adalah proses panjang. Ia tidak berhenti pada pemisahan Polri dari TNI, atau pada jargon-jargon modernisasi. Reformasi hanya bisa nyata jika regulasi, budaya organisasi, dan perilaku aparat di lapangan benar-benar berubah sesuai prinsip demokrasi dan HAM.
Perkap penyerangan polisi bisa saja menjadi instrumen penting untuk memberi kepastian hukum. Namun, tanpa revisi yang jelas, tanpa mekanisme akuntabilitas yang kuat, dan tanpa keterbukaan terhadap publik, regulasi ini justru berpotensi meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap Polri.
Reformasi kepolisian yang sejati menuntut satu hal sederhana: aparat harus mengutamakan perlindungan warga negara, bukan perlindungan institusi dari kritik dan koreksi.
Penulis: Kordianus Lado
Jurnalis TrenNews.id

Tinggalkan Balasan