Pertanian Daerah, Pilar Ketahanan Nasional
Pembangunan ekonomi nasional tidak selalu harus dimulai dari kota. Kadang, pijakan paling kokoh justru datang dari ladang, kebun, dan kolam-kolam kecil di pelosok desa. Inilah semangat yang kini hidup di Kabupaten Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara, sebuah daerah yang dengan berani menjadikan sektor pertanian dan perikanan sebagai panglima pembangunan. Di saat banyak daerah berlomba-lomba membangun megaproyek dan infrastruktur mercusuar, Kolaka Utara memilih menanam harapan dari tanahnya sendiri.
Langkah Bupati Drs. H. Nur Rahman Umar, MH dan Wakil Bupati H. Jumarding, SE dalam merevitalisasi pertanian, khususnya komoditas kakao, bukan sekadar kebijakan populis, tapi merupakan strategi pembangunan ekonomi yang membumi dan berjangka panjang. Kakao memang bukan komoditas sembarangan, Indonesia adalah salah satu produsen terbesar dunia, dan Sulawesi termasuk jantung produksinya. Namun kenyataan di lapangan jauh dari ideal, tanaman tua, akses pupuk terbatas, pemasaran lemah, dan petani yang masih berjalan sendiri-sendiri.
Program revitalisasi kakao yang digagas Pemkab Kolaka Utara tak hanya menyentuh sisi teknis pertanian. Ia mencakup pelatihan berkelanjutan, distribusi pupuk yang lebih merata, pembatasan pengiriman kakao basah ke luar daerah, hingga dorongan bagi tumbuhnya koperasi, rumah fermentasi, dan industri hilir lokal. Semua ini bukan sekadar proyek tahunan, melainkan investasi jangka panjang dalam membangun kemandirian pangan, ekonomi desa, dan akhirnya ketahanan nasional.
Momentum ini semakin terasa dalam peringatan Hari Kakao Sedunia yang digelar di Kecamatan Rante Angin, 7–8 Juli 2025. Acara itu bukan hanya panggung seremonial, melainkan ruang pengakuan atas jerih payah petani yang selama ini menopang ekonomi desa dengan keringat dan kesabaran. Ribuan petani berkumpul, menyuarakan harapan mereka yang sangat sederhana: harga yang stabil, akses pupuk dan modal, serta sistem perdagangan yang adil.
“Yang kami butuhkan bukan sekadar bibit, tapi keberlanjutan,” kata salah seorang petani kakao dengan nada yang mencerminkan kelelahan sekaligus semangat. Harapan mereka tidak muluk. Mereka ingin hasil kebun bisa diolah di tempat asalnya. Mereka tidak ingin lagi menjadi penonton di tanah sendiri. Seperti dikatakan Maryanto, pelaku usaha kecil di Batu Putih, “Kakao kami harus bisa diolah di sini, jadi bubuk, cokelat, atau produk UMKM.”
Langkah Pemkab untuk melarang ekspor kakao basah adalah angin segar. Ini membuka peluang ekonomi baru di tingkat lokal dan memberi nilai tambah langsung kepada masyarakat. Namun revitalisasi tidak akan berjalan sendiri. Pemerintah daerah butuh dukungan pusat berupa anggaran afirmatif, akses pasar nasional dan ekspor, reformasi logistik, dan sistem tata niaga yang adil.
Kehadiran pihak swasta seperti PT Syngenta Indonesia lewat program Cacao Care juga patut diapresiasi. Namun harapan masyarakat lebih dari sekadar bantuan sosial. Mereka mendambakan kemitraan yang adil dan berkelanjutan bukan hanya saat perayaan, tetapi juga ketika harga jatuh, panen gagal, atau distribusi macet.
Masalah permodalan juga masih menghantui petani kecil. Skema kredit yang berat dan minim informasi membuat mereka kesulitan berkembang. Harus ada reformasi pembiayaan pertanian, termasuk implementasi KUR berbasis kelompok tani, yang disesuaikan dengan dinamika lapangan.
Tak kalah penting adalah pembangunan infrastruktur dasar, jalan tani, gudang penyimpanan, dan pasar lokal. Seperti diungkapkan Mustadin, petani dari Batu Putih, “Kalau hasil panen tidak bisa diangkut dengan mudah, maka semua usaha jadi terhambat.”
Penting juga dicatat bahwa revitalisasi ini tak boleh hanya jadi proyek elit daerah. Pelibatan masyarakat dalam perencanaan hingga evaluasi adalah kunci keberhasilan. LSM dan komunitas sipil menegaskan perlunya transparansi dan pengawasan bersama agar tidak terjadi penguasaan oleh segelintir pihak. Suara petani bukan hanya dalam demonstrasi, tapi dalam desain kebijakan harus benar-benar didengar.
Bupati Kolaka Utara telah membuka jalan. Swasta mulai melangkah. Kini giliran pemerintah pusat dan publik nasional memberi perhatian serius. Apa yang dilakukan Kolaka Utara adalah contoh nyata bagaimana pembangunan bisa dimulai dari desa, dari akar, dari petani. Dan dari sinilah ketahanan nasional harus dibangun bukan hanya lewat rapat elite di kota, tetapi lewat tanah yang diolah dengan kesungguhan dan keadilan.
Revitalisasi pertanian bukan nostalgia masa lalu, melainkan keniscayaan masa depan. Kolaka Utara telah menanam benihnya. Kini tinggal bagaimana kita, sebagai bangsa, turut menyiram dan menjaganya agar tumbuh menjadi pohon kesejahteraan yang menaungi seluruh negeri.
Editorial TrenNews.id

Tinggalkan Balasan