Polda NTT Periksa Aparat Polres Manggarai dan Jurnalis TJ Terkait Dugaan Kekerasan di Poco Leok
MANGGARAI, TRENNEWS.ID – Tim dari Polda NTT memeriksa aparat di Polres Manggarai dan seorang jurnalis berinisial TJ yang diduga terlibat dalam kasus kekerasan di Poco Leok, termasuk dugaan penganiayaan terhadap Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut.
Dalam pemeriksaan yang berlangsung pada 1-3 November di Polres Manggarai, empat penyelidik dari Direktorat Reserse Kriminal Umum [Ditreskrimum] Polda NTT juga memeriksa para saksi, termasuk pejabat daerah di Kabupaten Manggarai.
Langkah itu menindaklanjuti laporan yang diajukan oleh Herry Kabut, Pemimpin Redaksi Floresa dan warga Poco Leok yang sama-sama menjadi korban kekerasan pada 2 Oktober ketika warga menggelar aksi ‘ jaga kampung’ untuk menyatakan penolakan terhadap proyek geotermal.
Herry termasuk salah satu yang ikut diperiksa untuk melengkapi keterangannya saat pelaporan, selain lima warga Poco Leok yang ada di lokasi kejadian dan mengetahui tentang dugaan tindak kekerasan itu.Selama pemeriksaan, mereka didampingi oleh kuasa hukum Ferdinansa Jufanlo Buba dan Krisonogonus Marno.
Penyelidik juga mengundang dua warga lainnya, Agustinus Tuju dan Thomas Tama untuk memberikan klarifikasi terkait kejadian itu. Namun, keduanya berhalangan hadir karena di kampung mereka sedang berlangsung penti, upacara syukuran adat dalam budaya Manggarai. Keduanya juga merupakan tetua adat di gendang atau komunitas adat Nderu sehingga mereka tidak bisa meninggalkan acara tersebut.
Dalam surat panggilan pemeriksaan, penyelidik juga meminta keterangan Sekretaris Daerah, Fansy Aldus Jahang dan Asisten II Bupati Manggarai, bidang Perekonomian dan Pembangunan Marianus Yosep Jelamu. Namun, hanya Marianus yang memenuhi panggilan penyelidik.
Jahang mengaku memang ada undangan untuk klarifikasi “namun [saya] belum bisa menghadap karena masih di luar daerah.”
Pemeriksaan korban dan saksi berlangsung setelah pada 1 November, penyelidik memeriksa polisi yang diduga merupakan pelaku. Pada 3 November, penyelidik juga memeriksa TJ, seorang wartawan yang dilaporkan ikut menganiaya Herry.
Agustinus Sukarno, salah seorang saksi mengaku penyelidik menanyakan “apakah setelah diamankan, warga [berada] dalam kondisi sehat?” Ia merespons bahwa “pertanyaan ini semestinya diajukan kepada korban.”
“Setahu saya, mereka [korban] bukan diamankan, tetapi ditangkap. Saya melihat mereka [berada] di dalam mobil [dalmas],” tambahnya.
Merespons pernyataan itu, kata Agustinus, penyelidik berkata, “mereka diamankan di dalam mobil, bukan ditangkap.”
“Yang layak ditangkap dan masuk ke dalam mobil dalmas adalah pencuri atau perampok, tetapi mereka diamankan,” kata penyelidik.
Merespons pernyataan itu, Agustinus berkata, “saya mengikuti logika Anda. Apakah warga yang masuk ke dalam mobil merupakan pencuri atau perampok?”
Penyelidik itu merespons, “pemahaman awam tentang ‘ditangkap dan diamankan’ memang berbeda dengan pemahaman kami.”
“Kalau ‘ditangkap’ berarti ada surat perintah penangkapan. Kalau ini kan hanya diamankan dan setelah itu mereka dilepaskan,” katanya.
Agustinus berkata, “mungkin di situ letak perbedaan pemahaman kami sebagai orang awam terkait kata ‘ditangkap dan diamankan’.”
Tadeus Sukardin, saksi lainnya mengaku ditanyai penyelidik terkait “alasan menolak menyerahkan lahan untuk proyek geotermal.”
“Saya menjawab, tanah yang ada di Poco Leok merupakan tanah ulayat yang diwariskan oleh nenek moyang kami secara turun-temurun,” katanya.
“Kami tidak bisa menjualnya kepada perusahaan karena kami hanya punya hak untuk mengelolanya,” tambahnya.
Penyelidik, kata dia, juga bertanya, “mengapa saya menolak proyek geotermal? Bukankah proyek itu membawa keuntungan bagi masyarakat?”
“Saya menjawab, selama ini, kami sudah mendapat keuntungan dari hasil mengelola tanah,” katanya.
“Kami justru merasa rugi jika menyerahkan tanah kepada perusahaan karena kami tidak akan bisa mengelola tanah lagi. Apalagi sebagian besar warga Poco Leok berprofesi sebagai petani yang menggantungkan hidupnya atas tanah,” katanya.
Tadeus mengaku penyelidik juga bertanya “apakah saya tahu ketika Herry diamankan oleh aparat.”
Ia menjawab iya, sekaligus mengaku melihat Hendrik Hanu, seorang polisi intel mengunci leher dan menarik Herry.
“Herry juga dikerumuni oleh beberapa aparat. Melihat leher Herry dikunci, saya pun berteriak, dia wartawan, kenapa ditangkap,” tambahnya.
Merespon pernyataan itu, kata dia, beberapa polisi berkata, “kami tahu dia wartawan, kami hanya mengamankan dan meminta surat tugasnya.”
Mendengar pernyataan itu, Tadeus berkata, “kalau hanya meminta surat, kenapa dia ditarik seperti itu?”
Ia mengaku “sempat berusaha mengikuti polisi yang mengunci leher dan menarik Herry, tetapi beberapa aparat menghentikannya.”
Hilarius Bandi, saksi lainnya mengaku penyelidik menanyakan tentang “siapa yang memimpin demonstrasi?”
“Saya menjawab, tidak ada yang memimpin,” katanya, menyebut aksi itu dengan istilah ‘jaga kampung.’
“Saya mengikuti aksi itu atas dasar inisiatif sendiri,” katanya.
Sementara itu, Herry Kabut mengaku ditanyai penyelidik tentang “berapa jumlah demonstran.”
“Saya tidak bisa memastikan jumlahnya. Yang saya tahu mereka adalah warga dari 10 gendang di Poco Leok,” katanya.
Penyelidik, kata dia, juga bertanya, “dari mana kamu mendapat informasi bahwa pemerintah dan PT PLN melakukan kegiatan di Poco Leok.”
“Saya mengetahui informasi itu dari warga ketika mereka mengirim informasi terkait aktivitas pemerintah dan PT PLN pada 1 Oktober,” katanya.
“Dalam informasi itu disebutkan bahwa pemerintah dan PT PLN akan melanjutkan identifikasi dan pendataan awal lokasi rencana pengembangan PLTP Ulumbu unit 5-6 lokasi access road ke wellpad I, wellpad I dan wellpad D pada 2 dan 3 Oktober,” tambahnya.
Kepala Sub Direktorat 1 Keamanan Negara Polda NTT, Edy berkata, “permintaan klarifikasi ini merupakan tindak lanjut atas dua laporan polisi yang kami terima di Kupang.”
Berdasarkan keterangan pelapor, kata dia, pada saat kejadian ada warga yang “mengalami dan melihat kekerasan yang dilakukan oleh polisi.”
“Mereka itulah yang kami mintai keterangan hari ini. Dari hasil klarifikasi itu, kami akan mengkajinya melalui proses gelar perkara,” katanya.
“Setelah itu, baru kami tentukan rencana tindak lanjutnya,” tambahnya.
Ia juga berkata, “kami sudah berkomunikasi dengan pengacara jurnalis dan warga bahwa perkembangan hasil klarifikasi akan disampaikan melalui SP2HP [Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan].”
Ferdinansa Jufanlo Buba, salah satu kuasa hukum Herry dan warga berkata, “penyelidik sedang mendalami beberapa bukti foto dan video serta keterangan dari saksi-saksi yang ada di lokasi kejadian.”
Selain itu, kata dia, penyelidik sedang “mendalami hasil visum yang dikeluarkan Rumah Sakit Bhayangkara Polda Kupang.”
Penyelidik, katanya, akan menyesuaikan hasil visum itu dengan hasil pemeriksaan medis para pelapor yang dikeluarkan oleh RSUD Komodo, Manggarai Barat dan sebuah klinik di Ruteng.
“Selebihnya, penyelidik akan menyampaikan perkembangan penyelidikan melalui SP2HP kepada kuasa hukum pelapor,” katanya.
Pemeriksaan itu digelar sejak sekitar pukul 12.00 hingga 17.30 Wita.
Usai pemeriksaan itu, penyelidik menyerahkan SP2HP Nomor B/353/X/2024/Ditreskrimum yang diterbitkan pada 29 Oktober berkaitan dengan laporan polisi yang diajukan Herry.
Sebelumnya, tim dari Divisi Profesi dan Pengamanan [Propam] Polda NTT telah memeriksa beberapa polisi pada 24 dan 25 Oktober di sebuah hotel di Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai terkait kasus dugaan kekerasan itu.
Sementara itu, empat warga Poco Leok memberi keterangan selama beberapa jam pada 24 Oktober malam. Mereka didampingi kuasa hukum Ferdinansa Jufanlo Buba dan Yulianus Ario Jempau.
Herry dan perwakilan warga Poco Leok telah melaporkan ke Polda NTT kasus dugaan pelanggaran etik dan kekerasan oleh anggota Polres Manggarai dan seorang jurnalis berinisial TJ.
Laporan Herry diajukan pada 11 Oktober, baik untuk tindak pidana umum di bagian Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu [SPKT] maupun etik di Propam.
Sedangkan laporan warga Poco Leok diajukan pada 11 Oktober untuk etik dan 14 Oktober terkait tindak pidana umum.
Dalam pelaporan, warga Poco Leok yang diwakili Karolus Gampur mengadukan tindak kekerasan terhadapnya dan warga lain saat aksi ‘jaga kampung’ pada 2 Oktober di Lingko Meter, bagian dari tanah ulayat Gendang Lungar.
Kala itu mereka sedang melakukan protes menolak proyek geotermal.
Saat peristiwa itu, selain dianiaya, ponsel Herry juga ikut dirampas oleh polisi dan isinya dicek. Mereka juga mengakses dan memeriksa laptopnya.
Herry mengaku dianiaya karena tidak membawa kartu pers, kendati ia telah menunjukkan surat tugas dan statusnya sebagai pemimpin redaksi di web Floresa.
Saat penganiayaan terjadi, menurut pengakuan warga, aparat melarang dan mengejar mereka saat berusaha mendokumentasikannya. (Lado)
Tinggalkan Balasan