Wakil Rakyat atau Sekadar Pengisi Kursi?
TrenNews.id – Setiap periode pemilu, kita selalu berharap bahwa wajah parlemen akan berubah menjadi lebih segar, lebih berisi, dan tentu saja lebih berkualitas. Namun harapan itu sering kali berakhir menjadi kekecewaan. Anggota DPR RI maupun DPRD, yang seharusnya menjadi representasi suara rakyat, justru sering tampil dengan citra yang jauh dari kata ideal.
Mengapa hal ini terjadi?
Pertama, sistem rekrutmen politik kita masih timpang. Partai politik lebih senang mengedepankan loyalitas, kedekatan personal, dan tentu saja modal finansial, ketimbang kualitas gagasan atau integritas calon. Tak heran bila daftar caleg sering dipenuhi oleh nama-nama populer dari pengusaha, artis, hingga kerabat elit politik yang mungkin saja minim pengalaman dalam urusan legislasi dan pengawasan.
Kedua, politik biaya tinggi menjadikan kursi parlemen sebagai investasi. Untuk bisa duduk di DPR atau DPRD, seorang caleg kerap harus menggelontorkan dana miliaran rupiah. Konsekuensinya, setelah terpilih, logika bisnis berjalan, bagaimana modal itu bisa kembali, bahkan berlipat ganda? Maka lahirlah praktik politik transaksional, dari jual beli proyek, lobi anggaran, hingga kompromi kepentingan yang jauh dari aspirasi rakyat.
Ketiga, produktivitas dan kualitas kerja legislatif masih jauh dari harapan. Banyak rancangan undang-undang disusun tanpa kajian mendalam, sekadar formalitas, atau bahkan titipan kepentingan tertentu. Di daerah, perda sering hanya menumpuk sebagai dokumen, tanpa daya implementasi. Lebih ironis lagi, publik sering disuguhi tontonan wakil rakyat yang absen, tertidur, atau lebih sibuk berswafoto ketimbang menyimak rapat.
Keempat, krisis integritas dan moralitas memperparah citra parlemen. Kasus-kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR dan DPRD bukan lagi fenomena langka. Dari praktik suap, gratifikasi, hingga pemerasan, semua seakan menjadi rutinitas yang mencoreng marwah lembaga legislatif. Padahal, mereka dipilih untuk menjaga amanat rakyat, bukan memperdagangkannya.
Namun tentu tidak adil jika kita menyapu rata. Ada segelintir wakil rakyat yang benar-benar bekerja dengan hati, turun ke dapil, menyerap aspirasi, dan berjuang di ruang sidang. Sayangnya, suara mereka kerap tenggelam oleh hiruk pikuk mayoritas yang lebih sibuk mengurus kepentingan pribadi dan kelompok.
Lalu, apa yang bisa dilakukan?
Kuncinya ada pada perbaikan sistem dan kesadaran politik masyarakat. Partai harus berani menata ulang mekanisme rekrutmen caleg berbasis kapasitas dan integritas, bukan sekadar popularitas dan modal. Masyarakat pun perlu lebih cerdas dalam memilih, tidak lagi terbuai janji manis atau iming-iming sesaat. Demokrasi hanya bisa sehat jika rakyat berani menolak politik uang dan menuntut kualitas.
Karena pada akhirnya, DPR dan DPRD adalah cermin dari rakyat yang memilihnya. Jika kualitasnya rendah, itu juga refleksi dari pilihan kita. Pertanyaan yang harus kita renungkan bersama, apakah kita memilih wakil rakyat karena gagasan dan komitmennya, atau hanya karena uang, baliho, dan popularitas?
Jika jawaban kedua masih mendominasi, jangan salahkan siapa-siapa bila kursi parlemen terus diisi oleh mereka yang lebih sibuk menjadi “penguasa kecil” ketimbang benar-benar menjadi wakil rakyat.
Redaksi

Tinggalkan Balasan