Kontrol Publik “Dilemahkan”, Memuluskan Jalannya Politik Dinasti dan Pilkada Suram
Isu politik dinasti dalam Pilkada 2024 tidak hanya terkait dengan Kaesang Pangarep dan Bobby Nasution. Kontrol publik perlu lebih luas lagi, mencakup keluarga mantan atau pejabat aktif seperti Menteri, Pejabat Tinggi, Gubernur, Walikota, dan Bupati di seluruh Indonesia. Fenomena ini mengkhawatirkan karena dapat mengancam demokrasi dan membawa sistem politik ke arah yang lebih otoriter dan kapitalis.
Mengapa publik harus peduli? Karena politik dinasti cenderung mengkonsolidasikan kekuasaan pada segelintir keluarga, mengikis peluang bagi kandidat-kandidat berkualitas lainnya, dan merusak prinsip-prinsip demokrasi serta meritokrasi. Dalam konteks ini, kontrol dan kritisisme dari publik menjadi krusial untuk memastikan bahwa politik Indonesia tetap inklusif dan adil.
Kontrol publik yang kuat adalah salah satu pilar utama demokrasi yang sehat. Ketika publik menunjukkan ketidakpedulian atau bahkan ketidakmampuan untuk mengkritik secara konsisten, ini membuka jalan bagi praktek politik yang tidak sehat. Di sinilah pentingnya peran masyarakat sipil, media, dan lembaga-lembaga pengawas untuk memastikan bahwa setiap kandidat, tanpa kecuali, diperiksa dengan cermat.
Refleksi Terhadap Sistem Pemilu
Fenomena perpindahan fokus dari satu isu ke isu lain menggambarkan betapa dinamisnya dan mudah melupakan suatu peristiwa prinsisp perpolitikan di Indonesia. Namun, ada pelajaran penting yang perlu diambil dari setiap proses pemilu. Esensi dari pemilu bukan hanya soal siapa yang menang atau kalah, tetapi juga tentang bagaimana kualitas sistem pemilu itu sendiri serta demokrasi dijalankan, seperti sejauh mana politik dinasti berjalan.
Sistem pemilu harus memastikan bahwa prosesnya adil, transparan, dan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi. Salah satu contoh isu yang perlu diperhatikan adalah penggunaan presidential threshold 20% pada pilpres, yang mengharuskan partai atau koalisi partai memiliki setidaknya 20% kursi di DPR untuk mengajukan calon presiden. Aturan ini kerap dianggap mengkebiri hak demokrasi partai-partai kecil dan menjadi bahan diskusi dalam reformasi sistem pemilu.
Para pengamat, akademisi, dan aktivis diharapkan dapat lebih fokus pada peningkatan kualitas sistem pemilu, terutama yang kini sedang akan berlangsung yakni pelaksanaan Pilkada. Jangan sampai masalah-masalah yang terjadi dalam Pilpres, seperti ketidakmampuan sistem untuk mengedepankan inklusifitas, keadilan dan demokrasi terulang dalam Pilkada 2024.
Kesimpulan
Kemenangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dalam Pilpres 2024, meski melewati berbagai dinamika dan tantangan, menandai babak baru dalam perpolitikan Indonesia. Kemudian
Kemunculan nama-nama besar dalam bursa Pilkada DKI Jakarta 2024, seperti Kaesang Pangarep, Bobby Nasution dan kemungkinan duet Anies Baswedan dengan Basuki Tjahaja Purnama, menuntut perhatian serius dari publik. Sejarah menunjukkan bahwa sentimen agama dan dinasti politik memiliki pengaruh besar dalam politik Jakarta.
Namun, yang tak kalah penting adalah terus memperbaiki sistem pemilu agar selalu sesuai dengan kaidah demokrasi, fair play, serta memastikan tak terjadi politik dinasti yang lebih luas. Dengan begitu, kita dapat memastikan bahwa setiap pemilu tidak hanya menjadi ajang kompetisi politik, tetapi juga refleksi dari kualitas demokrasi yang kita junjung tinggi.
Penulis: Agusto Sulistio – Mantan Kepala Aksi & Advokasi PIJAR
Tinggalkan Balasan