Pilkada Telah Usai, Tapi Permainan Belum Selesai
Pilkada 2024 telah berakhir. Hingar-bingar kampanye mereda, baliho mulai diturunkan, dan media kembali sepi dari serangan-serangan tajam yang dulu menghiasi headline tiap hari. Tapi jangan salah sangka, dalam politik, diam belum tentu damai. Justru saat-saat setelah kemenangan inilah ujian sesungguhnya dimulai.
Karena saat euforia mulai surut, mereka para rival datang mengetuk pintu. Mereka yang kemarin menuding, kini datang bersalaman. Mereka yang dulu mencaci, kini berbicara tentang kolaborasi. Dan tak jarang, mereka datang membawa “niat baik”, lengkap dengan senyuman yang tak kalah manis dari racun yang dulu mereka lemparkan.
Apa yang sebenarnya mereka cari? Apakah ini murni demi rakyat? Atau hanya upaya menyelamatkan posisi dan kepentingan pribadi yang sempat terancam oleh kekalahan?
Kita terlalu sering terjebak dalam narasi rekonsiliasi tanpa menyadari bahwa politik bukanlah dongeng dengan akhir bahagia untuk semua. Dalam realitas kekuasaan, setiap pelukan bisa berarti cekikan. Setiap jabat tangan bisa menyembunyikan belati.
Mereka tahu, jalan satu-satunya agar tetap relevan adalah dengan menyusup ke lingkaran pemenang. Dan sialnya, terlalu banyak di antara kita yang begitu mudah membuka pintu, bahkan menggelar karpet merah.
Apakah kita sudah lupa bagaimana mereka menyerang saat kita berjuang? Saat rakyat digalang untuk perubahan, mereka datang dengan propaganda. Saat kita menyuarakan keadilan, mereka menjawab dengan fitnah.
Mereka tidak hanya menyerang sosok calon, mereka menyerang kita, para pejuangnya. Mereka menghina pilihan kita, melecehkan perjuangan kita, bahkan memecah belah hubungan antar keluarga dan sahabat. Lalu hari ini, mereka datang membawa slogan “demi rakyat”?
Apa arti loyalitas jika kita begitu cepat melupakan? Apa arti perjuangan jika kemenangan justru dijadikan alasan untuk mengampuni tanpa syarat?
Dalam politik, tidak semua yang tersenyum itu kawan. Tidak semua yang bersalaman itu tulus. Ada yang datang bukan untuk membangun, tetapi untuk menyusup. Bukan untuk mendukung, tetapi untuk memastikan bahwa kendali tidak benar-benar lepas dari genggamannya.
Rival politik, bahkan saat mereka menyatakan dukungan pasca kekalahan, tetaplah punya agenda. Mereka bisa berubah rupa, tapi niat lama sering kali hanya tersembunyi di balik topeng baru.
Apakah kita lupa bagaimana mereka berjuang mati-matian agar kita kalah? Bagaimana mereka memanipulasi opini publik, menebar keraguan, bahkan menyusup ke dalam barisan kita untuk melemahkan dari dalam? Sekarang ketika mereka datang dengan dalih “sudah saatnya bersatu”, kita harus bertanya, bersatu dalam kepentingan siapa?
Jangan khianati para pejuang yang bertahan sejak awal. Mereka yang tidak pernah goyah saat badai datang. Mereka yang memilih tetap berjuang ketika mudah sekali untuk berpaling.
Jangan biarkan mereka tersingkir hanya karena rival datang dengan tawaran posisi, proyek, atau kekuasaan. Karena saat kita mulai mengistimewakan lawan dan melupakan kawan, di situlah benih kehancuran mulai tumbuh.
Kemenangan sejati bukan hanya soal siapa yang duduk di kursi kepala daerah. Tapi siapa yang tetap memegang prinsip, siapa yang menjaga barisan, siapa yang tak tergoda oleh rayuan kuasa.
Jangan buka pintu terlalu cepat. Jangan kaburkan garis antara kawan dan lawan. Politik butuh strategi, tapi lebih dari itu, politik butuh integritas.
Rival tetaplah lawan. Hormati mereka, tapi jangan beri ruang terlalu dekat. Karena dalam politik, celah kecil bisa jadi lubang besar yang menenggelamkan seluruh perjuangan.
Tinggalkan Balasan