Teriakan dari Perut Bumi Sulawesi Tenggara
SULAWESI TENGGARA berteriak. Bukan karena gempita pembangunan, tapi jeritan dari desa-desa yang dikepung tambang. Suara-suara itu tidak sampai ke gedung-gedung kekuasaan. Hilang ditelan raungan ekskavator dan gemuruh truk pengangkut nikel.
Dalam sepekan terakhir, laporan demi laporan dari jurnalis lapangan, termasuk investigasi TrenNews.id, memperlihatkan betapa keroposnya wajah industri tambang di wilayah ini. Di atas kertas, Sultra memang tengah bersinar, ekspor nikel meningkat, smelter tumbuh di mana-mana, dan investasi asing berbondong masuk.
Tapi, coba datangi desa-desa di Konawe Utara, Kolaka, Bombana, atau Morowali yang bersebelahan. Lihat bagaimana anak-anak bermain di tanah merah tercemar, bagaimana sungai kehilangan beningnya, dan bagaimana lahan warga berubah menjadi terminal logistik tambang tanpa ganti rugi memadai.
UU Minerba yang konon untuk “penataan” justru menjadi dalih untuk pemusatan kekuasaan. Pemerintah daerah kehilangan kendali. Masyarakat kehilangan harapan. Tambang yang dikelola lewat regulasi dari atas telah menjelma menjadi alat perampasan yang sah.
Tak ada yang lebih ironis dari desa yang dikepung perusahaan tambang tapi listriknya padam saban malam. Tak ada yang lebih menyakitkan dari anak petani lokal yang tak diterima bekerja di perusahaan yang mengebor tanah moyangnya sendiri.
Sultra kini menjadi laboratorium kecil bagi eksperimen tambang skala besar, pusat industri nikel nasional, pemasok bahan baku kendaraan listrik global. Tapi, siapa yang mendapat untung? Yang pasti bukan petani yang kehilangan sawah, bukan nelayan yang kehilangan ikan, bukan juga pengusaha lokal yang izin usahanya tersangkut di meja birokrasi selama bertahun-tahun.
Yang mendapat untung adalah perusahaan-perusahaan dengan koneksi ke pusat kekuasaan. Mereka yang bisa merubah garis hutan dengan selembar kertas. Mereka yang membangun jalan hauling melintasi tanah adat, lalu menyuruh aparat mengamankan.
Laporan tentang konflik agraria, pencemaran lingkungan, dan intimidasi terhadap warga yang bersuara hanya muncul sekilas di media. Besoknya tenggelam oleh isu politik nasional. Pemerintah daerah lebih sering menjadi humas perusahaan daripada pelindung rakyatnya. DPRD setempat jika tidak diam malah ikut bermain dalam pembagian “kue” tambang.
Satu-dua kepala daerah memang bersuara. Tapi suara mereka seperti layangan putus: melambung, lalu jatuh dan terlupakan.
Yang menyedihkan, praktik ini bukan hal baru. Ia berlangsung dari rezim ke rezim, dari bupati ke bupati, dari menteri ke menteri. Nama perusahaannya saja yang berganti. Tapi polanya sama, investasi besar datang, rakyat digeser, alam dihancurkan, lalu ditinggalkan.
Dan kini, semua itu dibungkus dengan narasi transisi energi, green economy, hilirisasi industri. Seolah-olah penambangan nikel adalah jalan menuju surga. Padahal, bagi banyak warga Sultra, itu adalah jalan menuju kehilangan.
Editorial ini bukan sekadar pengingat. Ia adalah peringatan. Bila tidak ada reformasi total dalam tata kelola tambang di Sulawesi Tenggara dan Indonesia pada umumnya maka yang akan tersisa hanyalah luka. Tambang akan habis, tapi dendam sosial akan terus membara.
Negara tak boleh terus menjadi penonton, apalagi menjadi pelayan kepentingan korporasi. Tanah ini milik rakyat, bukan modal.
Redaksi TrenNews.id

Tinggalkan Balasan