Kamis, 14 November 2024

Polda NTT Periksa Aparat Polres Manggarai dan Jurnalis TJ Terkait Dugaan Kekerasan di Poco Leok

Herry Kabut, pemimpin redaksi Floresa dan Tadeus Sukardin, warga Poco Leok saat dimintai keterangan oleh penyelidik dari Ditreskrimum Polda NTT di Polres Manggarai pada 2 November. (Dokumentasi: Ditreskrimum Polda NTT)

Ia mengaku “sempat berusaha mengikuti polisi yang mengunci leher dan menarik Herry, tetapi beberapa aparat menghentikannya.”

Hilarius Bandi, saksi lainnya mengaku penyelidik menanyakan tentang “siapa yang memimpin demonstrasi?”

“Saya menjawab, tidak ada yang memimpin,” katanya, menyebut aksi itu dengan istilah ‘jaga kampung.’
“Saya mengikuti aksi itu atas dasar inisiatif sendiri,” katanya.

Sementara itu, Herry Kabut mengaku ditanyai penyelidik tentang “berapa jumlah demonstran.”

“Saya tidak bisa memastikan jumlahnya. Yang saya tahu mereka adalah warga dari 10 gendang di Poco Leok,” katanya.

Penyelidik, kata dia, juga bertanya, “dari mana kamu mendapat informasi bahwa pemerintah dan PT PLN melakukan kegiatan di Poco Leok.”

“Saya mengetahui informasi itu dari warga ketika mereka mengirim informasi terkait aktivitas pemerintah dan PT PLN pada 1 Oktober,” katanya.

“Dalam informasi itu disebutkan bahwa pemerintah dan PT PLN akan melanjutkan identifikasi dan pendataan awal lokasi rencana pengembangan PLTP Ulumbu unit 5-6 lokasi access road ke wellpad I, wellpad I dan wellpad D pada 2 dan 3 Oktober,” tambahnya.

Kepala Sub Direktorat 1 Keamanan Negara Polda NTT, Edy berkata, “permintaan klarifikasi ini merupakan tindak lanjut atas dua laporan polisi yang kami terima di Kupang.”

Berdasarkan keterangan pelapor, kata dia, pada saat kejadian ada warga yang “mengalami dan melihat kekerasan yang dilakukan oleh polisi.”

“Mereka itulah yang kami mintai keterangan hari ini. Dari hasil klarifikasi itu, kami akan mengkajinya melalui proses gelar perkara,” katanya.

“Setelah itu, baru kami tentukan rencana tindak lanjutnya,” tambahnya.

Ia juga berkata, “kami sudah berkomunikasi dengan pengacara jurnalis dan warga bahwa perkembangan hasil klarifikasi akan disampaikan melalui SP2HP [Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan].”

Ferdinansa Jufanlo Buba, salah satu kuasa hukum Herry dan warga berkata, “penyelidik sedang mendalami beberapa bukti foto dan video serta keterangan dari saksi-saksi yang ada di lokasi kejadian.”

Selain itu, kata dia, penyelidik sedang “mendalami hasil visum yang dikeluarkan Rumah Sakit Bhayangkara Polda Kupang.”

Penyelidik, katanya, akan menyesuaikan hasil visum itu dengan hasil pemeriksaan medis para pelapor yang dikeluarkan oleh RSUD Komodo, Manggarai Barat dan sebuah klinik di Ruteng.

“Selebihnya, penyelidik akan menyampaikan perkembangan penyelidikan melalui SP2HP kepada kuasa hukum pelapor,” katanya.

Pemeriksaan itu digelar sejak sekitar pukul 12.00 hingga 17.30 Wita.
Usai pemeriksaan itu, penyelidik menyerahkan SP2HP Nomor B/353/X/2024/Ditreskrimum yang diterbitkan pada 29 Oktober berkaitan dengan laporan polisi yang diajukan Herry.

Sebelumnya, tim dari Divisi Profesi dan Pengamanan [Propam] Polda NTT telah memeriksa beberapa polisi pada 24 dan 25 Oktober di sebuah hotel di Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai terkait kasus dugaan kekerasan itu.

Sementara itu, empat warga Poco Leok memberi keterangan selama beberapa jam pada 24 Oktober malam. Mereka didampingi kuasa hukum Ferdinansa Jufanlo Buba dan Yulianus Ario Jempau.
Herry dan perwakilan warga Poco Leok telah melaporkan ke Polda NTT kasus dugaan pelanggaran etik dan kekerasan oleh anggota Polres Manggarai dan seorang jurnalis berinisial TJ.

Laporan Herry diajukan pada 11 Oktober, baik untuk tindak pidana umum di bagian Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu [SPKT] maupun etik di Propam.

Sedangkan laporan warga Poco Leok diajukan pada 11 Oktober untuk etik dan 14 Oktober terkait tindak pidana umum.
Dalam pelaporan, warga Poco Leok yang diwakili Karolus Gampur mengadukan tindak kekerasan terhadapnya dan warga lain saat aksi ‘jaga kampung’ pada 2 Oktober di Lingko Meter, bagian dari tanah ulayat Gendang Lungar.

Kala itu mereka sedang melakukan protes menolak proyek geotermal.
Saat peristiwa itu, selain dianiaya, ponsel Herry juga ikut dirampas oleh polisi dan isinya dicek. Mereka juga mengakses dan memeriksa laptopnya.

Herry mengaku dianiaya karena tidak membawa kartu pers, kendati ia telah menunjukkan surat tugas dan statusnya sebagai pemimpin redaksi di web Floresa.

Saat penganiayaan terjadi, menurut pengakuan warga, aparat melarang dan mengejar mereka saat berusaha mendokumentasikannya. (Lado)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini