Rabu, 4 Desember 2024

Polda NTT Periksa Aparat Polres Manggarai dan Jurnalis TJ Terkait Dugaan Kekerasan di Poco Leok

Herry Kabut, pemimpin redaksi Floresa dan Tadeus Sukardin, warga Poco Leok saat dimintai keterangan oleh penyelidik dari Ditreskrimum Polda NTT di Polres Manggarai pada 2 November. (Dokumentasi: Ditreskrimum Polda NTT)

MANGGARAI, TRENNEWS.ID – Tim dari Polda NTT memeriksa aparat di Polres Manggarai dan seorang jurnalis berinisial TJ yang diduga terlibat dalam kasus kekerasan di Poco Leok, termasuk dugaan penganiayaan terhadap Pemimpin Redaksi Floresa, Herry Kabut.

Dalam pemeriksaan yang berlangsung pada 1-3 November di Polres Manggarai, empat penyelidik dari Direktorat Reserse Kriminal Umum [Ditreskrimum] Polda NTT juga memeriksa para saksi, termasuk pejabat daerah di Kabupaten Manggarai.

Langkah itu menindaklanjuti laporan yang diajukan oleh Herry Kabut, Pemimpin Redaksi Floresa dan warga Poco Leok yang sama-sama menjadi korban kekerasan pada 2 Oktober ketika warga menggelar aksi ‘ jaga kampung’ untuk menyatakan penolakan terhadap proyek geotermal.

Herry termasuk salah satu yang ikut diperiksa untuk melengkapi keterangannya saat pelaporan, selain lima warga Poco Leok yang ada di lokasi kejadian dan mengetahui tentang dugaan tindak kekerasan itu.Selama pemeriksaan, mereka didampingi oleh kuasa hukum Ferdinansa Jufanlo Buba dan Krisonogonus Marno.

Penyelidik juga mengundang dua warga lainnya, Agustinus Tuju dan Thomas Tama untuk memberikan klarifikasi terkait kejadian itu. Namun, keduanya berhalangan hadir karena di kampung mereka sedang berlangsung penti, upacara syukuran adat dalam budaya Manggarai. Keduanya juga merupakan tetua adat di gendang atau komunitas adat Nderu sehingga mereka tidak bisa meninggalkan acara tersebut.

Dalam surat panggilan pemeriksaan, penyelidik juga meminta keterangan Sekretaris Daerah, Fansy Aldus Jahang dan Asisten II Bupati Manggarai, bidang Perekonomian dan Pembangunan Marianus Yosep Jelamu. Namun, hanya Marianus yang memenuhi panggilan penyelidik.

Jahang mengaku memang ada undangan untuk klarifikasi “namun [saya] belum bisa menghadap karena masih di luar daerah.”

Pemeriksaan korban dan saksi berlangsung setelah pada 1 November, penyelidik memeriksa polisi yang diduga merupakan pelaku. Pada 3 November, penyelidik juga memeriksa TJ, seorang wartawan yang dilaporkan ikut menganiaya Herry.

Agustinus Sukarno, salah seorang saksi mengaku penyelidik menanyakan “apakah setelah diamankan, warga [berada] dalam kondisi sehat?” Ia merespons bahwa “pertanyaan ini semestinya diajukan kepada korban.”
“Setahu saya, mereka [korban] bukan diamankan, tetapi ditangkap. Saya melihat mereka [berada] di dalam mobil [dalmas],” tambahnya.

Merespons pernyataan itu, kata Agustinus, penyelidik berkata, “mereka diamankan di dalam mobil, bukan ditangkap.”

“Yang layak ditangkap dan masuk ke dalam mobil dalmas adalah pencuri atau perampok, tetapi mereka diamankan,” kata penyelidik.

Merespons pernyataan itu, Agustinus berkata, “saya mengikuti logika Anda. Apakah warga yang masuk ke dalam mobil merupakan pencuri atau perampok?”

Penyelidik itu merespons, “pemahaman awam tentang ‘ditangkap dan diamankan’ memang berbeda dengan pemahaman kami.”

“Kalau ‘ditangkap’ berarti ada surat perintah penangkapan. Kalau ini kan hanya diamankan dan setelah itu mereka dilepaskan,” katanya.

Agustinus berkata, “mungkin di situ letak perbedaan pemahaman kami sebagai orang awam terkait kata ‘ditangkap dan diamankan’.”

Tadeus Sukardin, saksi lainnya mengaku ditanyai penyelidik terkait “alasan menolak menyerahkan lahan untuk proyek geotermal.”

“Saya menjawab, tanah yang ada di Poco Leok merupakan tanah ulayat yang diwariskan oleh nenek moyang kami secara turun-temurun,” katanya.

“Kami tidak bisa menjualnya kepada perusahaan karena kami hanya punya hak untuk mengelolanya,” tambahnya.

Penyelidik, kata dia, juga bertanya, “mengapa saya menolak proyek geotermal? Bukankah proyek itu membawa keuntungan bagi masyarakat?”

“Saya menjawab, selama ini, kami sudah mendapat keuntungan dari hasil mengelola tanah,” katanya.

“Kami justru merasa rugi jika menyerahkan tanah kepada perusahaan karena kami tidak akan bisa mengelola tanah lagi. Apalagi sebagian besar warga Poco Leok berprofesi sebagai petani yang menggantungkan hidupnya atas tanah,” katanya.

Tadeus mengaku penyelidik juga bertanya “apakah saya tahu ketika Herry diamankan oleh aparat.”

Ia menjawab iya, sekaligus mengaku melihat Hendrik Hanu, seorang polisi intel mengunci leher dan menarik Herry.

“Herry juga dikerumuni oleh beberapa aparat. Melihat leher Herry dikunci, saya pun berteriak, dia wartawan, kenapa ditangkap,” tambahnya.

Merespon pernyataan itu, kata dia, beberapa polisi berkata, “kami tahu dia wartawan, kami hanya mengamankan dan meminta surat tugasnya.”

Mendengar pernyataan itu, Tadeus berkata, “kalau hanya meminta surat, kenapa dia ditarik seperti itu?”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini