Empat Pulau Milik Aceh di Alihkan ke Sumut, KPK Diminta Telusuri Potensi Korupsi SDA
Aceh Singkil, Trennews.id – Dialihkannya 4 (empat) pulau dari wilayah Aceh ke Sumatera Utara melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 sampai saat ini masih menoleh polemik. Pasalnya kebijakan tersebut dari berbagai aspek dinilai tidak wajar, namun terkesan dipaksakan.
“Perlu kita pahami bahwa persoalan pulau di Aceh Singkil Provinsi Aceh tersebut selain berkaitan dengan wilayah, marwah dan harga diri rakyat Aceh juga besar kemungkinan juga berkaitan dengan potensi sumber daya alam (SDA) yang tersembunyi yang ada disana baik itu terkait potensi bahari, potensi wisata hingga besar kemungkinan juga berkaitan dengan potensi migas dengan nilai bisnis investasi yang fantastis,” ungkap Ketua DPW Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Anti Korupsi (Alamp Aksi) Provinsi Aceh, Mahmud Padang, Rabu (4/6/2025).
Menurut Mahmud, dari berbagai aspek, jelas baik itu Pulau Panjang, Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek dan Pulau Lipan merupakan wilayah Aceh. Sehingga sungguh masih misteri dan menimbulkan tanda tanya apa yang sebenarnya terjadi di balik pengalihan pulau-pulau tersebut.
“Kita sudah turun ke Pulau tersebut disana jelas terdapat tugu yang menyatakan kepemilikan pulau tersebut milik Aceh Singkil, Provinsi Aceh. Kemudian pengelolaan pulau tersebut selama ini juga oleh orang Aceh dan surat-surat kepemilikan berupa Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria Daerah Istimewa Atjeh tertanggal 17 Juni 1965 Nomor 125/IA/1965, bahkan khabarnya di dalam peta militer sekalipun keempat pulau itu dimasukkan dalam wilayah Aceh,” jelas Mahmud Padang.
Hal ini, kata Mahmud, semakin menguatkan adanya indikasi pemaksaan perubahan peta wilayah yang dilakukan melalui Keputusan Mendagri dengan tujuan tertentu, bisa saja tidak menutup kemungkinan juga berkaitan dengan investasi sumber daya alam (SDA).
“Secara aspek bisnis dan investasi dalam skala besar seperi untuk kawasan -kawasan potensial SDA termasuk Migas, maka pengaturan regulasi kerap menjadi kalkulasi, baik dari kemudahan perizinan, kepastian bisnis hingga pembayaran hasil usaha untuk Negara. Jika wilayah bisnis tersebut di daerah yang memiliki kekhususan seperti Aceh, maka selain harus mengakomodir regulasi nasional juga harus menjalankan regulasi lokal yang termaktub dalam UUPA dan qanun turunannya,” bebernya.
Dia meyakini, adanya maksud tersembunyi dari Keputusan Mendagri tersebut, sehingga Keputusan tersebut dipaksakan harus dikeluarkan, padahal dari berbagai fakta di lapangan jelas-jelas keempat pulau tersebut merupakan wilayah Aceh dan jika dilakukan pengalihan akan dapat mengganggu stabilitas.
“Tentunya menjadi tanda tanya apa sebenarnya maksud terselubung dibalik pengalihan pulau milik Aceh tersebut, apakah berkaitan dengan sumber daya alam atau murni berdasarkan kajian kewilayahan, mengingat dari berbagai aspek membuktikan pulau-pulau tersebut sejak dulu memang milik Aceh, namun Mendagri secara sepihak justru mengeluarkan pulau -pulau tersebut dari wilayah Aceh,” tambahnya.
Ketua DPW Alamp Aksi Aceh itu menyebut, tidak menutup kemungkinan adanya Korupsi di sektor sumber daya alam (SDA) dalam keputusan tersebut, untuk itu pihaknya meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga anti rasuah untuk menelusuri dan mengusut kemungkinan adanya indikasi korupsi dalam keputusan Mendagri tersebut. Mengingat adanya dugaan pemaksaan keputusan yang bertentangan dengan fakta lapangan.
“Kita minta KPK dapat menelusuri dan mengusut apakah ada kemungkinan adanya transaksional, kolusi atau gratifikasi dalam penentuan keputusan Mendagri tersebut. Apakah ada indikasi korupsi SDA dalam keputusan tersebut,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan