Jumat, 18 Juli 2025

Batu Putih: Di Ujung Sungai, Di Tengah Harapan

Foto: Dokumentasi Karang Taruna Batu Putih / Dispar Sultra Rubrik: Sosial & Wisata • Edisi Juli 2025

Di antara tebing, sungai, dan semangat anak muda, Batu Putih menanti bukan sekadar wisatawan tetapi keadilan pembangunan.

Oleh: Redaksi TrenNews.id
Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara

Di balik hijaunya gugusan perbukitan Kolaka Utara, tersembunyi sebuah kelurahan kecil yang menyimpan denyut harapan besar, Batu Putih. Kelurahan yang belum dikenal luas oleh para pelancong, namun begitu dikenang oleh siapa pun yang pernah singgah. Di sana, sungai mengalir tenang, goa-goa memanggil pelan, dan budaya menetap dalam gerak hidup sehari-hari. Bukan pertunjukan, melainkan kenyataan yang terus dijaga.

Pada 30 Juni 2025 lalu, Dinas Pariwisata Provinsi Sulawesi Tenggara melakukan kunjungan eksploratif ke kelurahan ini. Bagi mereka, Batu Putih adalah potensi. Tapi bagi Maryanto, ketua Karang Taruna Pucuk Mekar, Batu Putih adalah bukti bahwa kelurahan tak harus menunggu digerakkan dari luar.

“Kami tidak menunggu proyek datang. Kami buka jalur wisata, bangun tempat perkemahan, jaga sungai. Semua kami kerjakan sendiri,” katanya. Suaranya tenang, tapi tidak menyembunyikan letih.

Wisata di Batu Putih bukan industri. Ia adalah pengalaman yang tumbuh alami, dari sungai yang siap diarungi tubing, tebing batu yang menantang, hingga ladang-ladang yang bisa dikunjungi wisatawan yang ingin belajar tentang hidup petani.

Warga tak memaksakan budaya sebagai tontonan. Tarian, musik bambu, dan tradisi Tolaki, Bugis, serta Luwu hadir sebagai bagian dari hari-hari mereka bukan dekorasi. “Yang datang ke sini bukan sekadar melihat. Mereka diajak makan bersama, ikut panen, dan kadang tidur di rumah warga,” ujar Maryanto.

Semua ini dijalankan tanpa alokasi anggaran resmi. Tidak ada dana hibah, tidak ada proyek raksasa. Namun, dari dapur-dapur kecil dan pertemuan malam di bale bambu, warga Batu Putih merancang apa yang bagi mereka adalah masa depan, wisata berbasis masyarakat, yang melibatkan semua dan meninggalkan kebaikan bagi siapa pun.

Produk-produk lokal Batu Putih sudah melampaui batas desa. Keripik pisang, sarung tenun, dan kerajinan dari tempurung kelapa kini sampai ke pasar nasional, bahkan menembus Hongkong. Tapi Maryanto tahu, itu belum cukup.

“Batu Putih bukan cuma bisa tumbuh. Kami sudah tumbuh. Yang kami butuhkan adalah dukungan bukan belas kasihan, tapi kepercayaan bahwa kami mampu,” ujarnya tajam.

Ia menyambut baik kedatangan Dinas Pariwisata Sultra. Tapi ia juga memberi catatan penting: jangan jadikan kunjungan ini hanya laporan birokrasi tahunan.

“Kami ingin mereka kembali, bukan hanya membawa kamera dan catatan, tapi juga komitmen. Komitmen memperbaiki jalan menuju lokasi wisata, melatih pemandu lokal, membangun fasilitas dasar,” kata Maryanto.

Batu Putih bukan cerita tentang kekurangan. Ini adalah cerita tentang kelimpahan yang belum diurus. Kekayaan alam, semangat warga, dan kesinambungan budaya menjadi fondasi kuat bagi model wisata berkelanjutan. Tapi desa ini tak bisa selamanya berjalan sendiri.

Sore itu, usai kegiatan bersama tim Dispar, Maryanto duduk di bawah pohon dekat aliran sungai. Suara air yang mengalir beradu dengan tawa anak-anak bermain lumpur. Di wajahnya tidak tampak letih, melainkan tanya yang dalam, sampai kapan kelurahan harus membangun sendiri?

“Kami tidak menolak bantuan. Kami menolak dilupakan,” ujarnya pelan.

Di tengah derasnya arus pembangunan yang seringkali abai pada kelurahan, Batu Putih berdiri sebagai pengingat, bahwa wajah Indonesia bukan hanya milik kota-kota besar, tetapi juga desa-desa (kelurahan) kecil yang merawat identitasnya dalam diam.

Wisata di sini bukan sekadar bisnis, tapi cara masyarakat mempertahankan tanah, air, dan jiwa mereka. Dan itu lebih dari cukup alasan bagi siapa pun, pemerintah, investor, wisatawan untuk berhenti sejenak dan bertanya: apa yang bisa kita pelajari dari desa yang tak menunggu, tetapi memilih bertindak?

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini