Diksi Demo Jadikan Dalil Pemberhentian Ratusan Nakes, Ombudsman: Tidak Manusiawi
RUTENG, TRENNEWS.ID – Diksi Demo yang dipakai Bupati Manggarai,Nusa Tenggara Timur, Herybertus G.L Nabit menjadi dalil pemecatan 249 Nakes dengan tidak memperpanjang Surat Perintah Kerja(SPK).
Faktanya, para Nakes mendatangi Lembaga DPRD Kabupaten Manggarai bukan melakukan demonstrasi, namun lebih kepada Audiens dengan Komisi A.
Jika mereka melakukan demo, tentu ada orator untuk menyampaikan orasi dan prosedur yang harus mereka penuhi dengan mengantongi surat izin dari Polres Manggarai.
Artinya, kalau benar Nakes melakukan demo bisa dipidana karena melanggar hukum.
Kepala Perwakilan Ombudsman Provinsi NTT, Darius Beda Daton menyayangkan sikap Bupati Manggarai yang tidak menunjukkan diri sebagai problem solver namun terkesan otoriter.
“Akan kami cek ke Kadis Kesehatan Manggarai apakah kontrak Nakes itu berdampak pada pemenuhan standar minimum SDM di Puskesmas atau tidak”,ungkap Darius Daton saat dikonfirmasi, Selasa (23/4/2024).
Menurut Darius Daton, jika menyebabkan puskesmas kekurangan SDM maka Pemkab Manggarai perlu memikirkan lagi opsi untuk menambah SDM nakes melalui skema rekrutmen PNS dan PPPK agar hak-hak nakes lebih terjamin.
Sebab jika melalui THL atau kontrak daerah seperti sekarang, selain bertentangan dengan UU ASN, juga hak-hak nakes tidak sesuai UMP. Ini tidak manusiawi.
RAMAI DIBERITAKAN DI MEDIA
Bupati Manggarai Herybertus G.L Nabit dikabarkan memecat sebanyak 249 nakes dengan tidak memperpanjang Surat Perintah Kerja (SPK) 2024.
Pemecatan itu dikabarkan dilakukan imbas para nakes yang meminta perpanjangan SPK dan kenaikan upah serta tambahan penghasilan.
Peristiwa ini mencerminkan penghargaan atas profesi tenaga kesehatan masih minim di Indonesia. Padahal, negara dan masyarakat belum lama menyematkan gelar pahlawan terhadap tenaga kesehatan yang berjuang mempertaruhkan nyawa menangani pandemi Covid-19.
SPONTANITAS NAKES MEMINTA MAAF
Bupati Nabit akan melibatkan jajaran terkait dalam Pemerintahan Kabupaten (Pemkab) Manggarai untuk membahas peluang mempekerjakan kembali ratusan nakes non-ASN yang dipecat itu. Sebelumnya, Hery memecat 249 nakes dengan tidak memperpanjang Surat Perintah Kerja (SPK) 2024 karena melakukan dua kali aksi demontrasi menuntut kenaikan gaji, perpanjangan SPK, dan aspirasi lainnya. Selama ini, nakes yang dipecat itu mendapat gaji Rp 400 ribu hingga Rp 600 ribu per bulan.
“Terkait harapan untuk mempekerjakan kembali para nakes, saya menyampaikan bahwa hal itu akan dibahas bersama seluruh jajaran terkait dalam Pemkab Manggarai,” kata Hery dalam audiens bersama Nakes di Aula Ranaka, Jumat(19/4/2024).
Politikus PDI Perjuangan (PDIP) itu mengatakan pemerintah dan masyarakat masih membutuhkan jasa pelayanan nakes. Namun, Hery menegaskan nakes juga harus disiplin sesuai aturan yang berlaku di lingkungan birokrasi.
“Pemerintah dan masyarakat masih membutuhkan para nakes, tapi tentu saja dengan disiplin yang sesuai aturan organisasi birokrasi,” kata Hery.
Dia mengatakan nakes yang dipecat itu akan dibahas awal pekan depan mendatang. Ia berharap keputusan yang dihasilkan nanti bisa memenuhi harapan semua pihak, baik nakes itu sendiri maupun Pemkab Manggarai dan masyarakat.
“Awal minggu depan akan kami bahas dan mengambil keputusan yang semoga bisa mengakomodasi masukan dari semua pihak, baik para nakes, harapan publik, maupun pemkab sendiri,” urai Hery.
Mengutip Kompas TV.Com, Ketua Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Ade Jubaedah sangat menyayangkan pemecatan terhadap tenaga kesehatan di Kabupaten Manggarai tersebut.
Ia khawatir keputusan tersebut dapat mengganggu pelayanan kesehatan bagi masyarakat.
Saat ini, menurutnya, organisasi profesi terkait sedang melakukan mediasi dengan pemerintah daerah dan DPRD setempat.
Selain bidan, organisasi profesi lain yang terlibat, yakni dari organisasi profesi perawat.
Namun ia mengaku belum mendapatkan informasi yang pasti mengenai jenis tenaga kesehatan lain yang tidak diperpanjang perjanjian kerjanya.
”Tenaga kesehatan yang tidak diperpanjang kontraknya ini sepertinya juga bukan tenaga kesehatan honorer, seperti tenaga harian lepas, sehingga tidak ada ikatan yang kuat juga,” tuturnya.
“Namun, kami harap pemerintah daerah pun bisa membuka kesempatan agar tenaga kesehatan tersebut bisa masuk sebagai tenaga kesehatan daerah,” katanya.
(Kord)
Tinggalkan Balasan