Tangisan Pemimpin Negara Terhadap Rakyat Penuh Derita
JAKARTA, TRENNEWS.ID – “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat dan janji-janjinya. Dan orang-orang yang memelihara shalatnya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi kebahagiaan dan kesenangan di surga Firdaus, mereka kekal di dalamnya” [QS. Al-Mu’minun: 8-11].
SEJARAH mencatat dengan tinta emas, Umar bin Abdul Aziz, seorang Khalifah Bani Umayah [682-720M] yang terkenal kebijaksanaannya, pada suatu malam sedang bekerja sendirian di ruang kantornya dengan penerangan lampu dari minyak lampu zaitun.
Karena ketekunannya bekerja membuat catatan-catatan dan surat-surat urusan kenegaraan, hingga tanpa disadarinya seorang putranya telah berada dalam ruang kerjanya. Putranya berdiri di hadapan Khalifah menanti kesempatan untuk bicara. Ketika khalifah mengangkat kepalanya merasa terkejut, karena puteranya telah berada di hadapannya. Kemudian segera disapanya.
“Untuk keperluan apa engkau datang kemari menemuiku aku yang sedang sibuk oleh pelbagai pekerjaan?” tanya Khalifah kepada puteranya. Puteranya lalu menjawab: “Ada satu urusan kekeluargaan yang harus aku bicarakan denga Ayah”. Khalifah mendengar perkataan anaknya lalu menjawab: “Kalau begitu, tunggu sebentar, akan kumatikan dulu lampu ini”. Khalifah lalu menuju ke lampu minyak zaitun yang sedang menyala itu, kemudian dimatikannya.
Seusai mematikan lampu itu, Khalifah mempersilakan puteranya berbicara dalam ruangan kerja menjadi gelap. “Nah sekarang bicaralah, apa yang hendak engkau katakan?” ujar Khalifah. “Tetapi kenapa ayah harus mematikan lampu dahulu, sehingga ruang menjadi gelap dan mengganggu pembicaraan kita,” kata puteranya.
Mendengar keluhan puteranya, Khalifah berkata: ” Anakku, lampu ini dinyalakan dengan minyak zaitun yang dibeli dari uang negara. Sedangkan engkau datang bukan untuk membicarakan kepentingan negara, tetapi mengenai persoalan kekeluargaan.
Dan untuk keperluan itu kita jangan mempergunakan fasilitas-fasilitas negara. Karena negara adalah milik semua rakyat, dan kita tidak boleh mengurangi hak milik mereka itu untuk kepentingan kita sendiri”. “Tetapi ayah, aku tak dapat berbicara dalam ruangan gelap,” ujar puteranya.
Setelah mendengar perkataan puteranya yang tak dapat berbicara di ruangan gelap, kemudian Khalifah memanggil seorang khadam [pembantu] yang diperihtahkanya untuk mengambil lampu dari rumah Khalifah untuk dipergunakan selama pembicaraan Khalifah dan puteranya. Setelah ruang terang, khalifah berkata:” Bicaralah, apa yang hendak engkau bicarakan. Kini kita mempergunakan lampu dan minyak yang dibeli dari uang milik kita sendiri”.
Demikianlah sebuah contoh teladan dan dimiliki oleh seorang khalifah [pemimpin negara] yang memegang amanah dari kepemimpinannya yang menguasai kekayaan negara yang demikian besarnya.
Dalam soal sekecil itu khalifah Umar bin Abdul Aziz bertindak demikian hati-hati, begitupun dalam persoalan yang lebih besar beliau senantiasa menunjukkan sikap amanahnya yang begitu besar.
Suatu hari isterinya, Fatimah binti Abdul Malik, masuk ke kamar khalifah, dan melihatnya sedang duduk di atas tikar shalatnya. Pipinya ditempelkan di atas tangannya, sementara air matanya mengalir. Melihat keadaan khalifah yang demikian, isterinya bertanya: “Mengapa Anda menangis seperti ini?”
Khalifah menjawab: “Oh malangnya wahai Fatimah, aku diberi tugas mengurus umat seperti ini. Yang menjadi buah pikiranku adalah nasib si miskin yang kelaparan, orang yang merintih kesakitan, orang yang terasing di negeri ini, tawanan, orang tua renta, janda yang sendirian, orang-orang yang mempunyai tanggungan keluarga yang besar dengan penghasilan kecil dan orang-orang yang senasib dengan mereka di seluruh pelosok negeri ini, utara atau di selatan.
“Aku tahu, Allah SWT. akan meminta bertanggungjawaban kepadaku di hari kiamat kelak. Sedangkan pembela mereka yang menjadi lawanku adalah Rasulullah SAW. Aku betul-betul takut tak dapat mengemukakan jawaban dihadapan-Nya. Itulah sebabnya aku menangis”, jawab Khalifah kepada isterinya. Wallahua’lam.
Sumber: SKJ.182.1417H.
Tinggalkan Balasan