Sabtu, 21 Juni 2025

Belajar dari Udang dan Lalat: Cermin Pola Hidup Sebagian Manusia

Ilustrasi

Manusia kerap merasa dirinya makhluk paling sempurna di muka bumi. Berakal, berbudi, dan punya kehendak bebas itulah mahkota yang membedakannya dari makhluk lain. Namun ironisnya, di balik semua itu, sering kali manusia justru mempraktikkan pola hidup yang jauh dari nilai-nilai luhur yang ia agungkan. Kadang, tanpa sadar, manusia hidup seperti udang yang jalannya selalu mundur. Atau seperti lalat yang tak pernah bosan menghampiri tempat kotor.

Perumpamaan ini memang terdengar sederhana, bahkan jenaka. Tapi jika direnungkan lebih dalam, ada makna yang begitu tajam dan menyentil. Dua makhluk kecil ini “udang dan lalat” dapat menjadi cermin bagi sebagian manusia yang tersesat dalam arah hidup, cara berpikir, dan sikapnya dalam menyikapi dunia.

Udang dikenal dengan cara jalannya yang unik tidak ke depan, melainkan ke belakang. Sebagian orang memaknainya secara filosofis sebagai simbol kemunduran. Dan konon, dalam budaya tutur yang hidup di masyarakat, sering terdengar guyonan bahwa “udang itu jalannya mundur karena kotorannya ada di kepala.” Sebuah sindiran bahwa jika pikiran seseorang kotor, maka langkahnya tak akan pernah membawa kemajuan.

Dalam kehidupan nyata, tak sedikit manusia yang hidup seperti udang. Mereka yang tidak mau belajar dari kesalahan, justru senang menyalahkan masa lalu atau orang lain atas nasibnya kini. Mereka lebih sibuk menoleh ke belakang, mencari siapa yang patut disalahkan, daripada berani melangkah ke depan dan memperbaiki diri.

Ada pula yang tampak sibuk bergerak, padahal sejatinya hanya berputar di tempat. Banyak rencana, banyak bicara, tapi nihil eksekusi. Mereka adalah contoh konkret dari pola hidup “maju-mundur” yang mematikan potensi dan membiarkan waktu berlalu tanpa makna.

Dalam konteks sosial, kita juga sering melihat kelompok-kelompok yang membangun kekuatan bukan atas dasar visi, tapi dendam masa lalu. Keputusan politik, ekonomi, bahkan kebijakan publik diwarnai semangat “balas budi” dan “balas dendam.” Bukannya berpikir ke depan demi kemajuan bersama, mereka justru menarik bangsa ini mundur, seperti udang yang lupa arah.

Jika udang mewakili cara melangkah, maka lalat mencerminkan cara memandang. Lalat selalu hadir di tempat-tempat kotor. Ia tak tertarik pada bunga, tapi akan sangat cepat mencium aroma busuk dari kejauhan. Seolah-olah hidupnya memang ditakdirkan untuk mengakrabi kebusukan.

Begitulah sebagian manusia yang matanya selalu mencari cela. Di tengah sekian banyak kebaikan, ia akan fokus pada satu kekurangan. Saat seseorang berbuat baik seratus kali, satu kesalahan akan cukup baginya untuk mencaci. Mereka bukan tak mampu melihat kebaikan mereka hanya tidak mau.

Media sosial hari ini menjadi medan paling subur bagi pola pikir seperti lalat. Komentar-komentar pedas, fitnah, hoaks, dan ujaran kebencian membanjiri ruang publik. Alih-alih menjadi ladang diskusi sehat, banyak yang menjadikannya tempat melampiaskan energi negatif. Seolah-olah yang paling layak mendapat perhatian hanyalah yang busuk dan rusak.

Sikap seperti ini melahirkan budaya “cancel” yang sangat tidak produktif. Sekali seseorang terjatuh atau tergelincir, tidak ada ruang maaf. Ia akan terus dihakimi, dijadikan objek ejekan, bahkan dilenyapkan kontribusinya. Padahal, bukankah semua manusia pernah salah?

Manusia tidak lahir untuk menjadi udang atau lalat. Kita diberi akal untuk menentukan arah, dan hati untuk membedakan mana yang luhur dan mana yang rendah. Namun ketika dua binatang kecil ini justru menjadi simbol dari kebiasaan kita bukankah itu pertanda bahwa kita telah kehilangan jati diri sebagai makhluk berakal?

Pola hidup seperti udang dan lalat bisa muncul dari kebiasaan kecil yang dibiarkan. Dari rasa malas belajar, takut menghadapi kenyataan, hingga kegemaran membicarakan aib orang lain. Dan pelan-pelan, semua itu membentuk cara hidup yang reaktif, pesimistis, dan tidak produktif.

Kita bisa memilih untuk tidak menjadi seperti mereka. Jika kita menyadari bahwa pikiran kotor bisa menyeret langkah ke arah yang salah, maka membersihkan hati dan pikiran adalah awal dari segala kemajuan. Dan jika kita sadar bahwa mata yang hanya mencari keburukan akan menjadikan kita gelap, maka belajar menghargai kebaikan adalah cahaya yang bisa menerangi hidup.

Tidak ada yang salah dengan udang dan lalat. Mereka menjalankan perannya sesuai hukum alam. Yang menjadi persoalan adalah ketika manusia yang mestinya menjadi khalifah di bumi memilih hidup seperti mereka.

Kita diajak untuk belajar dari alam. Bukan sekadar meniru, tapi merenung dan mengambil pelajaran. Jika udang mengajarkan bahwa langkah bisa salah ketika pikiran kotor, dan lalat mengingatkan bahwa pandangan bisa rusak jika hanya mencari keburukan, maka seharusnya kita menjadikan dua makhluk itu sebagai bahan introspeksi.

Dunia hari ini tidak butuh lebih banyak orang yang mundur dan mencari kebusukan. Dunia butuh manusia yang berani melangkah ke depan, berpikir jernih, dan melihat segala sesuatu dari sisi yang terang. Karena masa depan dibangun bukan oleh mereka yang berjalan ke belakang, apalagi yang senang dengan yang busuk. Masa depan dibangun oleh mereka yang menjaga pikirannya tetap bersih, langkahnya tetap lurus, dan pandangannya tetap jernih.

Penulis : Asse

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini