Nyawa Rakyat di Ujung Ban Truk Tambang
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur kembali menunjukkan betapa nyawa rakyat masih bisa dinegosiasikan. Usulan kompromi untuk membuka jalan umum sebagai jalur truk tambang pada malam hari, yang ditawarkan kepada warga Desa Batu Kajang dan Muara Kate, seakan-akan solusi, padahal sejatinya hanya mengalihkan bahaya bukan menghilangkannya.
Dalih bahwa aktivitas hauling akan dilakukan “di luar jam sibuk” adalah logika yang cacat sejak awal. Sebab jalan umum tidak dibangun untuk membedakan antara siang dan malam, tetapi untuk menjamin keselamatan seluruh pengguna tanpa kecuali. Dan ketika truk tambang raksasa dipersilakan melintasi pemukiman warga tak peduli jam berapa pun maka negara sedang membuka pintu lebar-lebar bagi potensi petaka.
“Kami tidak melihat ini sebagai solusi,” ujar seorang warga Batu Kajang. Ucapan ini bukan keluhan, melainkan alarm.
Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud sebelumnya telah menyatakan larangan penggunaan jalan umum sebagai jalur hauling, merujuk pada Pasal 91 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020. Tetapi entah kenapa, kini muncul narasi kompromi, truk boleh lewat malam hari, asalkan kendaraan bertonase kecil dan ada “jaminan keselamatan.”
Pertanyaannya siapa yang bisa menjamin keselamatan rakyat? Pemerintah? Aparat? Atau perusahaan tambang yang selama ini lebih sibuk menghitung tonase daripada menghitung dampak sosial?
Lebih ironis lagi, Gubernur Rudy belum meninjau langsung kondisi lapangan. Padahal dokumentasi dampak hauling berseliweran di media sosial. Apa gunanya punya kekuasaan jika telinga dan mata ditutup rapat saat rakyat bersuara?
Pasal 91 UU Minerba jelas pemegang IUP/IUPK wajib menggunakan jalan tambang, bukan jalan umum. Tapi ketika perusahaan mengeluh soal biaya hauling dan waktu tempuh, pemerintah justru menawarkan toleransi.
Inilah wajah lunaknya penegakan hukum di negeri ini, tajam ke rakyat, tumpul ke korporasi. UU yang seharusnya menjadi tameng rakyat, justru dijadikan alas kaki negosiasi demi kelancaran logistik batubara.
Pemerintah berdalih, solusi jangka panjang sudah disiapkan, pembangunan jalur hauling sepanjang 143 kilometer oleh PT Tabalong Prima Resources. Namun jika jalan khusus itu memang serius dirancang, mengapa masih harus membebani jalan umum hari ini? Kenapa warga dipaksa bersabar, sementara korporasi tetap meraup untung?
Menurut data Jatam Kaltim, PT MCM menikmati laba sebesar Rp1,5 triliun dalam 18 bulan. Dengan target 1,2 juta ton batubara per tahun dan jarak 135 km dari area tambang ke pelabuhan, diperkirakan 800–1.600 truk akan melintas setiap malam, memicu antrean 10 kilometer.
Siapa yang diuntungkan? Sudah jelas perusahaan. Siapa yang menanggung dampaknya? Warga. Keselamatan mereka direduksi menjadi risiko wajar. Rumah retak, suara bising, jalan rusak, dan ancaman kecelakaan menjadi bagian dari kehidupan yang dinormalisasi oleh negara.
Pernyataan Jatam, bahwa kompromi ini hanya “pemanis politik”, sepenuhnya tepat. Sebab dalam politik tambang, yang selalu manis hanya keuntungan korporasi. Rakyat selalu jadi pahitnya.
Warga tidak menolak tambang, mereka hanya menuntut keadilan. Mereka meminta perusahaan mematuhi hukum, dan negara menjalankan peran pengawasnya. Apakah itu terlalu berat?
Jika pemerintah lebih sibuk mencari celah untuk melayani kepentingan industri, maka kita patut bertanya untuk siapa negara ini berdiri? Jika jalan umum yang dibangun dari pajak rakyat malah menjadi jalur truk perusahaan, dan rakyat tidak bisa menolak, maka apa lagi yang bisa disebut milik rakyat?
Masalah di Batu Kajang dan Muara Kate bukan sekadar soal jalan. Ini soal arah kebijakan. Saat pemerintah lebih sigap menjawab kebutuhan korporasi ketimbang jeritan rakyat, maka negara telah kehilangan kompas moralnya.
Tidak ada satu pun jalan umum yang pantas dijadikan jalur truk tambang. Tidak ada satu pun malam yang cukup gelap untuk menyembunyikan ketidakadilan. Dan tidak ada satu pun alasan yang sah untuk membiarkan keselamatan rakyat menjadi korban kompromi.
Karena di negeri ini, yang sering dikorbankan bukan karena kurangnya aturan, tapi karena keberpihakan yang salah.
Oleh : Andi Pangerang
Catatan Penulis:
Tulisan ini adalah bentuk keberpihakan terhadap warga yang telah terlalu lama menjadi objek eksploitasi. Di balik angka-angka produksi dan grafik pertumbuhan, tersembunyi suara-suara lemah yang dilindas rantai truk tambang. Tulisan ini bukan seruan kebencian, tapi pengingat bahwa pembangunan tanpa keadilan adalah bentuk perusakan yang dilegalkan.

Tinggalkan Balasan