Senin, 21 Juli 2025

Saat Daerah Bersuara: Jeritan Sunyi dari Timur, Tertib dari Sultra, dan Nyeri Diam di Jawa

Ilustrasi

EDITORIAL –  Di balik gemerlap narasi nasional yang kerap membius publik dengan drama kekuasaan dan headline elite politik, pekan ini suara dari daerah muncul dengan cara yang tak bisa diabaikan senyap tapi tajam. Kalau Jakarta sibuk dengan rapat-rapat kabinet dan polemik antar institusi, maka dari pelosok Nusantara, rakyat bicara melalui tragedi, ketegasan, dan harapan yang lahir dari keterbatasan.

Mari kita mulai dari Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Sebuah pangkalan minyak tanah fiktif terbongkar. Bukan sekadar soal minyak, ini tentang keadilan yang dikhianati. BBM bersubsidi yang seharusnya jadi hak rakyat kecil dijarah oleh mafia kecil yang ternyata tak bergerak sendiri. Ada petugas SPBU, pemilik kios, sopir, bahkan oknum polisi. Lengkap sudah aktor dalam sandiwara murahan ini. Sayangnya, panggungnya adalah perut rakyat. Harga Pertalite memang murah, tapi ketika diselewengkan, dampaknya bisa jauh lebih mahal dari angka di pompa bensin.

Lalu, tiba-tiba plang pangkalan dicopot oleh orang tak dikenal. Seperti seorang pencuri yang menurunkan papan nama tokonya sebelum beraksi. Rapi tapi terlalu terang. Rakyat tak sebodoh itu. Media lokal menangkap gelombang kegelisahan warga dan negara harus segera turun tangan sebelum kepercayaan benar-benar tumbang.

Bergeser ke Sulawesi Tenggara, tepatnya di Kolaka Utara. Polisi menggelar Operasi Patuh Anoa. Sepintas, ini operasi lalu lintas biasa. Tapi yang membuatnya beda adalah pendekatannya: para petugas duduk ngopi bareng komunitas otomotif, menyampaikan pesan keselamatan jalan dengan cara santai, bersahabat. Hukum tak selalu harus menghardik. Ketika hukum hadir dengan wajah manusiawi, rakyat pun lebih siap untuk taat.

Dari Jawa Timur, tepatnya Surabaya, kabar tentang pembobolan ruko dan premanisme kembali mencuat. Mungkin terdengar biasa. Tapi tetap menyisakan luka lama, ketika ekonomi melemah, kejahatan tumbuh seperti rumput liar. Dan ketika ormas mulai bersikap seperti penagih utang, negara harus hadir. Ini bukan soal satu kasus, ini tentang menjaga agar hukum tidak disandera oleh kekuatan liar yang merasa kebal.

Masih dari banyak wilayah lain, ada isu yang terlihat sepele tapi berbahaya  meningkatnya konsumsi obat bebas seperti Bodrex tanpa kontrol. Di banyak daerah, obat jadi seperti permen dibeli bebas, dikonsumsi sembarangan, tanpa edukasi. Pembangunan sejati bukan hanya soal jalan tol dan jembatan, tapi juga tentang kesadaran akan kesehatan dan perlindungan masyarakat dari bahaya sunyi seperti ini.

Lalu ada kisah dari kawasan UMKM “Sikembu”, tentang konflik tanah antara warga dan pemerintah. Nyaris panas. Tapi yang menarik, penyelesaiannya justru lewat mediasi. Tanpa pengeras suara, tanpa aksi jalanan. Ternyata masih ada jalan damai, selama niat baik duduk di meja yang sama.

Daerah tidak butuh dikasihani. Mereka hanya ingin didengar. Mereka tidak mengeluh demi sensasi. Mereka bersuara karena luka mereka nyata. Dan ketika media lokal seperti TrenNews.id mengangkat suara-suara dari akar rumput ini, kita patut memberi ruang lebih luas. Sebab berita daerah bukan sekadar catatan pinggiran. Ia adalah cermin bagi pusat, bahwa tidak semua masalah bisa diselesaikan dari balik kaca kantor berpendingin udara.

Pekan ini, suara dari Timur dan berbagai penjuru telah bersuara. Pertanyaannya: apakah kita masih memilih untuk pura-pura tuli?

Redaksi TrenNews.id
Cerita dari bawah. Suara yang tak bisa dibungkam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini