Asal Muasal Uang: Dari Barter hingga Uang Digital
Uang telah menjadi simbol kekuasaan, alat tukar, dan bahkan ukuran kesuksesan dalam masyarakat modern. Namun jika kita melihat lebih dalam, pertanyaan mendasarnya bukan hanya “darimana uang berasal?” melainkan “apa sebenarnya makna uang?” dan “mengapa manusia memberinya nilai?”
Dalam tulisan ini, kita akan menelusuri asal muasal uang bukan hanya dari sisi historis, tetapi juga dari kacamata filsafat, untuk memahami bagaimana manusia memberi makna pada sepotong kertas, logam, atau bahkan kode digital bernama uang.
1. Dari Barter ke Simbol Nilai: Awal Kesadaran Ekonomi
Sebelum uang lahir, manusia hidup dalam sistem barter menukar barang atau jasa secara langsung. Ini mencerminkan tahap awal pemikiran manusia tentang nilai, yakni nilai fungsional dan kebutuhan langsung. Filosof seperti Aristoteles telah membahas ini dalam Politics, bahwa pertukaran adalah bagian alami dari kebutuhan hidup.
Namun, barter segera mengalami kendala logis: ketidaksesuaian kebutuhan, sulitnya mengukur nilai, dan kesulitan menyimpan atau memindahkan kekayaan. Di sinilah uang lahir bukan hanya sebagai alat tukar, tapi sebagai simbol abstraksi nilai produk dari kontrak sosial antar manusia.
2. Uang sebagai Konsep Imajinatif: Kesepakatan Tak Terlihat
Yuval Noah Harari dalam Sapiens menyebut uang sebagai salah satu “realitas fiksi kolektif” terbesar yang diciptakan manusia. Tidak seperti batu atau pohon yang wujudnya nyata, uang hanya memiliki makna karena kesepakatan bersama bahwa ia bernilai. Ketika masyarakat berhenti mempercayainya, ia menjadi tidak lebih dari kertas atau angka digital.
Dari kacamata filsafat, ini menunjukkan kekuatan inter-subjektivitas: realitas yang tidak objektif maupun subjektif, tetapi dibentuk bersama. Uang adalah hasil dari kemampuan manusia membayangkan dan menyepakati makna bersama.
3. Dari Nilai Intrinsik ke Nilai Relasional
Uang awalnya berbentuk komoditas bernilai intrinsik, seperti emas, perak, atau garam. Namun seiring waktu, bentuk uang menjadi fiat tidak lagi bernilai pada dirinya sendiri, melainkan hanya memiliki nilai relasional, yaitu sejauh apa orang percaya padanya.
Dalam pandangan filsuf Jerman, Georg Simmel, uang adalah bentuk paling murni dari alat abstraksi sosial. Dalam bukunya The Philosophy of Money, ia menyebut bahwa uang mencerminkan pemisahan antara benda dan nilai. Nilai tidak lagi terikat pada benda, tapi pada fungsi dan hubungan sosial yang dibentuk olehnya.
4. Eksistensi Manusia dan Kuasa Uang
Jean-Paul Sartre, dalam eksistensialismenya, melihat manusia sebagai makhluk bebas yang menciptakan makna sendiri. Namun uang, dalam masyarakat kapitalistik, sering justru menciptakan penjara makna, seolah hidup manusia hanya valid ketika ia memiliki angka dalam rekening.
Uang, yang awalnya alat, berubah menjadi tujuan eksistensial. Di sinilah muncul paradoks: manusia menciptakan uang untuk melayani kebutuhan, tapi pada akhirnya manusia tunduk padanya. Sebuah ironi yang menyingkap ketergantungan manusia pada ciptaannya sendiri.
5. Nietzsche: Moralitas dan Kekayaan
Friedrich Nietzsche mengkritik sistem nilai yang mapan, termasuk moralitas dan kepemilikan. Dalam kerangka uang, kita bisa meminjam logika Nietzsche untuk bertanya: apakah nilai uang adalah nilai yang otentik, ataukah hanya produk dari moralitas massa yang ditanamkan lewat sistem ekonomi?
Nietzsche menyebut “kawanan” sebagai simbol manusia yang hidup tanpa kehendak kuat. Dalam masyarakat modern, mereka yang mengejar uang tanpa refleksi, barangkali hanyalah bagian dari kawanan yang mengejar nilai semu, bukan nilai sejati.
6. Marx: Uang sebagai Alienasi
Karl Marx, dari sudut pandang materialis historis, melihat uang sebagai alat alienasi manusia. Ia menulis bahwa uang mengubah kualitas manusia menjadi kuantitas, dan membuat hubungan antar manusia menjadi hubungan antar benda. Dalam kapitalisme, segala sesuatu diukur dalam angka bahkan waktu, cinta, dan martabat.
Dalam sistem seperti ini, manusia terasing bukan hanya dari pekerjaannya, tetapi juga dari hakikat kemanusiaannya. Uang menjadi medium yang memutus hubungan langsung manusia dengan makna, dan menggantinya dengan harga.
7. Uang Digital: Puncak Abstraksi, Ujung Refleksi
Era digital membawa kita pada bentuk uang yang paling abstrak dan tak terlihat. Uang kini adalah angka dalam server, atau bahkan kriptografi dalam blockchain. Di sinilah kita dihadapkan pada pertanyaan eksistensial:
Apakah nilai hidup kita kini bergantung pada angka yang tak bisa kita sentuh?
Jika uang adalah fiksi kolektif, maka dunia digital adalah babak lanjutan dari fiksi itu: semakin jauh dari kenyataan fisik, tapi semakin kuat pengaruhnya terhadap realitas hidup manusia. Dalam dunia ini, refleksi filosofis menjadi penting bukan untuk menolak uang, tapi agar manusia tetap menjadi subjek, bukan objek dari sistem.
Penutup: Uang dan Nilai Sejati
Dari sudut pandang filsafat, uang bukan hanya alat ekonomi, melainkan cermin nilai-nilai terdalam manusia: kepercayaan, kekuasaan, kesepakatan, dan bahkan ilusi. Uang bukan sekadar benda, tetapi simbol dari cara kita hidup, berelasi, dan memberi makna pada dunia.
Maka, pertanyaan terpenting bukanlah “berapa banyak uang yang kita punya?” melainkan “apa yang kita anggap berharga?” Sebab bisa jadi, nilai sejati ada pada hal-hal yang tak bisa dibeli, cinta, kebijaksanaan, waktu, dan kemanusiaan itu sendiri.
Sumber : Kumpulan beberapa artikel

Tinggalkan Balasan