Rabu, 5 Februari 2025

Wacana Pilkada Lewat DPRD Terus Bergulir, Berikut Kata Mendagri Tito

Mendagri, Tito Karnavian

JAKARTA, TRENNEWS.ID – Pernyataan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian tentang mendukung pemilihan kepala daerah (Pilkada) melalui DPRD, sebagaimana disampaikan di Istana Negara, menjadi bagian dari diskursus politik nasional terkait efisiensi demokrasi.

“Gagasan ini selaras dengan usulan Presiden Prabowo Subianto yang menginginkan penghematan biaya besar dalam penyelenggaraan Pilkada langsung,” kata Tito di Istana Negara, Senin (16/12/2024).

Ada beberapa poin utama dari pernyataan Tito terkait usulan Presiden Prabowo, diantaranya, pertama. Efisiensi Biaya. Tito dan Prabowo sepakat bahwa Pilkada langsung memakan biaya besar, baik dari sisi anggaran negara maupun dana yang dikeluarkan calon kepala daerah. Dengan pemilihan melalui DPRD, biaya tersebut bisa dialokasikan untuk kebutuhan lain yang lebih mendesak.

Kemudian Kedua, Pilkada Asimetris. Tito mendorong gagasan Pilkada asimetris, di mana beberapa wilayah tetap menjalankan Pilkada langsung, sementara wilayah lain menggunakan mekanisme pemilihan melalui DPRD. “Hal ini didasarkan pada pendekatan demokrasi perwakilan yang juga dianggap sah dalam sistem demokrasi,” ujarnya.

Kemudian, ketiga, Pembahasan di Parlemen. Perubahan sistem Pilkada ini masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Tito menegaskan bahwa Kemendagri, DPR, partai politik, dan akademisi akan membahas hal ini melalui kajian mendalam sebelum keputusan final diambil.

Yang keempat kata dia, Studi Banding ke Negara Tetangga. Prabowo memberikan contoh efisiensi Pilkada di negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan India, yang menggunakan mekanisme berbeda dari Indonesia.

Dari gagasan tersebut tentunya akan menjadi pro-kontra. Pronya, pendukung perubahan ini berargumen bahwa penghematan biaya dapat memperkuat alokasi anggaran untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Selain itu, risiko politik uang dapat ditekan karena mekanisme pemilihan lebih terpusat.

Sementara yang kontra, kritik utama adalah risiko melemahnya legitimasi pemimpin daerah, karena tidak dipilih langsung oleh rakyat. Selain itu, model ini dikhawatirkan dapat meningkatkan praktik korupsi di DPRD.

“Gagasan ini masih memerlukan diskusi luas, baik di tingkat legislatif maupun publik, untuk memastikan sistem politik yang dihasilkan tetap mencerminkan prinsip demokrasi, efisiensi, dan transparansi,” pungkasnya. (Hendra)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini