Jumat, 27 Juni 2025

Termenungnya Alam Menyambut Muharram: Sebuah Tafsir Hakikat

Ilustrasi

Ketika langit mulai menyusutkan cahaya syawal, dan bumi menurunkan jejak-jejak pesta dunia, datanglah Muharram sebagai tamu agung. Tapi ia bukan datang untuk dirayakan, melainkan disimak. Ia bukan bulan pesta, melainkan bulan tafakur. Ia mengetuk pintu kesadaran bukan dengan dentang meriah, melainkan dengan diam yang mendalam.

Tak hanya manusia yang mestinya terjaga, tetapi alam pun ikut termenung. Angin melambat, seakan menghela nafas yang dalam. Awan menggantung lebih lama, seolah hendak memberi jeda bagi langit untuk menunduk. Gunung, laut, dan hutan seakan lebih hening. Bahkan waktu terasa sedikit lebih lambat ketika Muharram melangkah masuk, seakan semesta tahu ini bukan sekadar awal tahun, ini adalah isyarat dari langit.

Muharram bukan sekadar pengganti bulan Zulhijjah. Ia adalah awal dalam arti terdalam awal untuk kembali. Kembali ke asal muasal diri. Kembali kepada fitrah ruhani yang sering tertutup oleh kabut dunia.

Bulan ini menjadi penanda hijrah Nabi ﷺ dari Makkah ke Madinah. Namun bagi para pencari makrifat, hijrah itu tak hanya kisah sejarah, tapi jalan batin yang wajib ditempuh dari kegelapan nafsu menuju cahaya kalbu, dari keakuan menuju ke-Tuhanan.

Hijrah itu bukan sekadar berpindah tempat, tapi berpindah tingkat kesadaran. Ia adalah transformasi ruhani meninggalkan syahwat dunia, menanggalkan pakaian ego, dan menapaki jalan sunyi menuju Nur Ilahi.

Ibn Arabi pernah berkata, “Hijrah bukan keluar dari satu negeri ke negeri lain, tetapi keluar dari hijab ke hadirat.” Inilah makna terdalam Muharram sebuah panggilan lembut dari Tuhan, agar hamba-hamba-Nya kembali menengok wajah hakikat yang lama mereka abaikan.

Mengapa alam termenung?
Karena alam adalah cermin kepekaan ruhani. Ia lebih taat dari manusia. Ia menangis ketika kebatilan meraja, dan bersujud diam ketika kebenaran hadir. Maka ketika Muharram datang, ia pun diam dan merunduk, sebab ia tahu ini adalah bulan Allah, bulan yang disucikan bahkan sebelum syariat diturunkan.

Bulan ini adalah saat paling tepat untuk menyepi, menyelami kembali Nur Muhammad dalam diri. Menyucikan niat, merapikan kembali arah kiblat batin. Karena jika tidak, maka kita hanya akan menjalani tahun baru hijriah secara jasad, tapi tetap tinggal di tahun lama secara ruh.

Setiap pergantian waktu adalah teguran. Dan Muharram adalah teguran yang paling sunyi tapi mengguncang. Ia tak bersuara, namun menghujam jiwa. Ia tak menghentak, tapi menampar pelan kesadaran kita yang lalai.

“Berapa banyak tahun lagi engkau akan berpaling dari Tuhanmu?” begitu tanya waktu dalam heningnya.

“Berapa banyak Muharram yang engkau lalui hanya sebagai seremoni, tanpa pernah sungguh-sungguh berhijrah dari batin yang gelap?”

Ini adalah bulan Allah. Bulan yang Dia pilih untuk membuka tahun dengan kemuliaan dan kehormatan. Maka pantaskah kita menyambutnya dengan kelalaian?

Tidak semua bisa mendengar suara Muharram. Tidak semua bisa menangkap lirihnya pesan langit di balik waktu yang terus bergulir. Tapi bagi jiwa yang gundah karena merasa jauh dari Tuhannya, bagi ruh yang rindu pulang ke cahaya asalnya, Muharram adalah panggilan pulang.

Bulan ini bukan tentang selebrasi. Ini tentang refleksi. Bukan soal mengganti kalender, tapi mengganti arah hidup. Bukan tentang ramai-ramai, tapi sunyi yang menyelamatkan.

Alam termenung bukan karena tak tahu. Ia termenung karena tahu terlalu banyak. Sementara manusia, seringkali terlalu gaduh untuk mendengarkan.

Maka diamlah sejenak… dan dengarkan.
Muharram telah tiba. Dan ia membawa pesan, bukan pesta.

Artikel Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini