Jumat, 18 Juli 2025

Dari Pabrik ke Rumah Sakit: Limbah Tak Terurus, Izin Tak Beres

Ilustrasi

Peringkat merah yang kembali dijatuhkan kepada PT Energi Unggul Persada (EUP) dalam penilaian Properda Kalimantan Timur seolah menjadi potret klasik tata kelola lingkungan kita, longgar, birokratis, dan tidak menimbulkan efek jera. Ironisnya, perusahaan pengolah minyak sawit ini bukan pendatang baru dalam daftar pelanggar lingkungan dan tetap saja bisa beroperasi seakan tak terjadi apa-apa.

Kali ini, pelanggaran muncul dari pembangunan tangki minyak kotor di luar konsesi resmi. Fakta bahwa pembangunan dilakukan lebih dahulu sebelum adendum Amdal disetujui menunjukkan betapa kendur pengawasan dan rendahnya komitmen perusahaan terhadap kepatuhan hukum. “Masih berproses,” begitu kata Humas EUP. Kalimat yang terlalu sering diucapkan, namun jarang diikuti tanggung jawab konkret.

Yang lebih mencengangkan, pelanggaran ini bukan yang pertama. Pada pertengahan 2024 lalu, PT EUP juga tercatat lalai hingga menyebabkan kebakaran besar yang menghanguskan area pengolahan biodiesel mereka. Akibatnya, Pemkot Bontang menjatuhkan denda Rp1,8 miliar, sementara Kementerian Lingkungan Hidup memberikan sanksi tambahan. Tapi apakah ada perubahan perilaku? Nyatanya, belum terlihat.

Tak berhenti di sektor industri, dunia kesehatan pun ikut menyumbang rapor merah. Tiga rumah sakit di Kota Bontang, RSUD Taman Husada, RS Amalia, dan RS Islam Yabis masuk daftar penilaian merah Properda 2024–2025. Alasan utamanya adalah buruknya pengelolaan limbah medis dan ketidaklengkapan izin insinerator serta pengelolaan limbah B3. Sederet alasan administratif dilontarkan. Tapi dampaknya bukan administratif, limbah beracun tanpa pengelolaan memadai bisa menjadi ancaman langsung bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Bahkan Kepala Dinas Lingkungan Hidup setempat mengakui, pengurusan izin limbah B3 masih harus ke pusat. Ini adalah ironi regulasi yang kerap kita jumpai ketika kewajiban dipikul daerah, tapi kewenangan penuh ada di pusat. Akibatnya, kelambanan menjadi pembenaran. Ketika semua ‘sedang dalam proses’, maka pencemaran dan pelanggaran seakan bisa ditoleransi.

Model pengawasan seperti ini tidak cukup. Penilaian Properda seharusnya menjadi alat pemicu koreksi, bukan sekadar lembar evaluasi tahunan yang dilupakan begitu saja. Jika pelanggaran hanya dibalas dengan denda administratif dan imbauan, maka perusak lingkungan akan terus merasa aman. Sementara itu, masyarakat dan alam menjadi korban diam-diam dari proses yang tidak beres.

Sudah saatnya pemerintah daerah diberi kewenangan penuh untuk menangani urusan perizinan limbah di wilayahnya. Birokrasi yang tumpang tindih hanya menyuburkan celah pelanggaran. Dunia usaha pun harus berhenti berlindung di balik jargon tanggung jawab sosial jika tak sanggup mengelola limbahnya sendiri. Termasuk institusi layanan publik seperti rumah sakit tak boleh ada toleransi terhadap kelalaian yang mengancam kesehatan lingkungan.

Ketika pabrik membuang limbah sembarangan dan rumah sakit gagal mengelola limbah medis, lalu semua hanya mendapat catatan administratif, maka yang tercemar bukan hanya lingkungan, tapi juga nurani kita sebagai bangsa.

Editorial TrenNews.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini