Jumat, 18 Juli 2025

JMSI: Opini di Media Merupakan Produk Pers, Laporan Rektor USK Dinilai Tidak Tepat

Keterangan foto: Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI), Dr. Teguh Santosa

Jakarta, TrenNews.id – Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI), Dr. Teguh Santosa, menyayangkan langkah Rektor Universitas Syiah Kuala (USK), Prof. Marwan, yang melaporkan penulis opini ke pihak kepolisian. Menurut Teguh, tindakan tersebut menunjukkan kekeliruan dalam memahami mekanisme penyelesaian sengketa pers sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Opini yang diterbitkan di media massa merupakan bagian dari kerja jurnalistik, dan karenanya tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers,” ujar Teguh dalam keterangan resmi di Jakarta, Selasa (3/7/2025).

Pernyataan Teguh tersebut merespons laporan polisi yang dilayangkan oleh Rektor USK terhadap penulis opini yang sebelumnya dimuat di sejumlah media siber. Polemik ini juga telah menjadi perhatian khusus JMSI Pusat, khususnya di bidang Kerja Sama Antar Lembaga.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Rektor USK melaporkan penulis opini berjudul “Rektor Universitas Syiah Kuala Polisikan Penulis Opini” ke Polda Aceh, yang memicu kekhawatiran di kalangan insan pers terkait ancaman kriminalisasi terhadap karya jurnalistik.

Teguh menegaskan, dalam penyelesaian sengketa pers, sudah terdapat pedoman baku yang telah diperkuat melalui Nota Kesepahaman (MoU) antara Dewan Pers dan Kepolisian Republik Indonesia. MoU tersebut menyatakan bahwa apabila terdapat laporan terkait pemberitaan, maka pihak kepolisian wajib berkoordinasi terlebih dahulu dengan Dewan Pers.

“Dalam MoU itu dijelaskan bahwa apabila ada laporan terkait produk jurnalistik, polisi harus berkoordinasi dengan Dewan Pers. Jika Dewan Pers menyatakan bahwa konten tersebut merupakan karya jurnalistik, maka penyelesaiannya dilakukan melalui mekanisme seperti hak jawab, hak koreksi, atau diselesaikan di Dewan Pers,” terangnya.

Ia menilai, pelaporan melalui jalur pidana terhadap karya jurnalistik bertentangan dengan semangat perlindungan kebebasan pers dan penyelesaian sengketa secara proporsional. Apalagi, kata dia, rektor sebagai akademisi seharusnya memahami ruang-ruang penyelesaian yang telah disediakan oleh negara.

“Sebagai rektor, seharusnya tidak menempuh jalur pidana dalam menghadapi opini yang dipublikasikan di media. Ini bukan perkara kriminal umum, melainkan bagian dari kebebasan pers yang dijamin undang-undang,” kata Teguh.

Teguh menambahkan, apabila pihak yang dirugikan merasa tidak diberi ruang untuk memberikan klarifikasi atau sanggahan, maka mekanisme hak jawab harus didahulukan sebagai solusi yang adil dan konstruktif.

“Kalau merasa tidak diberi kesempatan menjelaskan, gunakan hak jawab. Itu mekanisme yang sah dan tersedia. Namun, membawa ke ranah pidana bukan langkah yang tepat,” ujarnya.

Ia juga mengakui bahwa belum semua aparat penegak hukum memahami secara utuh mekanisme penyelesaian sengketa pers. Oleh karena itu, edukasi terhadap aparat menjadi penting agar MoU antara Dewan Pers dan Polri benar-benar dijalankan secara konsisten.

“Memang masih banyak yang belum memahami Undang-Undang Pers. Tapi Polri sudah menandatangani MoU dengan Dewan Pers. Seharusnya hal ini menjadi acuan utama dalam menangani laporan semacam ini,” pungkasnya.

Redaksi TrenNews.id

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini