Penomena Timses Pasca Pilkada, Merasa Terabaikan
Persaingan hebat tidak harus dibangun diatas kebencian. Mereka dibangun diatas rasa hormat, diatas rasa hormat terhadap keunggulan.
Fenomena biasa pasca perhelatan politik, baik pilkada maupun suksesi organisasi, tim sukses terjangkit syndrom merasa ditinggalkan, terabaikan, terlupakan atau juga tersisihkan. Setelah kemenangan tim seolah mengecil terkotak sebuah kepentingan yang tak lagi sama dan seirama.
Opini ini dirangkum dari berbagai kejadian secara umum, terjadi pasca kemenangan pilkada. Perasaan terabaikan menjadi narasi umum yang kerap terjadi pasca kemenangan. Keluhan tidak dapat ketemu lagi dengan sang calon, setelah mereka bantu habis-habisan. Harapan untuk tetap berada di lingkaran utama serta banyak menerima manfaat setelah kemenangan diraih lambat laut berganti dengan keluhan dan kekecewaan.
Tak luput dari ingatan adalah mereka yang merasa diri ditinggalkan. Mereka merasa jauh setelah sehabis berjuang bersama dalam politik. Ada semacam tindakan eskapis, sebab merasa tak dapat apa-apa dari perjuangan politik. Dipikirannya hanya terlintas pepatah : habis manis sepah di buang.
Faktanya, setelah kemenangan diraih maka tim sukses sama sekali tidak punya power lagi, bahkan untuk bertemu orang yang dimenangkan nya adalah sesuatu yang sangat sulit, bahkan menjadi hal yang mustahil. Padahal setelah pemenangan, yaitu para tim sukses seharusnya menjadi kelompok penekan yang dapat segera mengantarkan seribu satu persoalan. Hal ini karena tim sukses yang “berperang” dilapangan tidak memiliki mekanisme komunikasi langsung setelah kemenangan calon yang mereka bela.
Meski sebenarnya banyak persoalan-persoalan rakyat lebih penting untuk terus dimenangkan dari pada kemenangan yang telah diraih. Bahwa tim sukses juga rakyat yang mempunyai mandat sosial, tanggung jawab moral untuk mensegerakan akan perbaiki-perbaikan bagi lapangan ekonomi, lapangan sosial dan lapangan politik.
Pasca perjuangan politik, mesti komunikasi tetap ada. Menang politik tak berarti perjuangan politik itu selesai. Justru, menang politik pertanda perjuangan berat siap menanti didepan mata. Mempertahankan kemenangan itu tidak mudah. Menang berarti realisasi ide dan fikiran yang telah mendapatkan persetujuan dari rakyat. Karenanya, barisan politik mesti tetap utuh, tak usah merasa ditinggalkan karena tanggung jawab politik pasca kemenangan itu berat.
Hanya saja cita-cita ini sulit terwujud karena mekanisme komunikasi melemah setelah menang menjadi titik lemah yang menjadi akar keluhan para tim sukses. Idealnya tim sukses yang berperang dilapangan mampu mengikat para calon yang akan dimenangkan nya untuk dapat terus berkomunikasi dengan mereka, karena mereka juga sebenarnya terhutang janji kepada masyarakat. Bukan sekedar kelompok yang mengantar sang pemimpi ke lingkaran baru bernama birokrasi dan elut baru hasil seleksi alam dari tim sukses yang bergerak sebelumnya.
Sejatinya, dalam politik, tidak ada yang ditinggalkan. Mereka yang pernah menjadi bagian dari penjualan politik akan selalu ada dalam lingkaran politik. Seorang pemimpin politik menaruh mereka dalam pikiran dan hati. Setiap kisah perjuangan bersama selalu menjadi asupan etis untuk saling mengikat. Kisa politik adalah kisah persaudaraan yang terikat dalam ingatan pokitis, hanya saja karena kepentingan yang berbeda perasaan ditinggalkan itu mengemuka.
Dalam keyakinan tak ada lupa ini, lalu disangkutkan dengan satire politik pilkada. “Kalau jadi lupa”. Sesuatu yang pasti terjadi, meski secara parsial tak menyeluruh pada semua tim. Pemimpin selalu punya indra etis untuk melihat mana kawan, mana lawan (mana Sengkuni). Justru yang biasanya ada adalah politisasi kata “ditinggalkan”. Biar bisa menggiring emosi dan persepsi politik publik.
Dari kepentingan ini realisasi minor politik praktis kita. Lumrah, siapa yang terlihat politik praktis minta “hak”. Semacam minta komitmen dari perjanjian yang tak pernah dibuat, tetap mesti dimengerti. Tak ada makan siang gratis. Saya sudah memberi, saya wajib menerima balasan lebih. Itu biasa dalam politik riil. Tapi biasa juga untuk diingkari dengan realias situasi yang berubah.
Sosialis memang, namun itulah politik dalam hal yang paling praktis. Mereka yang ikut berjuang dalam politik, pasti menyelipkan kepentingan minornya dibawah dibawah kepentingan mayor. Tanpa itu politik tak berjalan.
Bagi mereka yang mendapatkan “bagian”, semuanya tidak menjadi soal. Semua akan menjadi baik-baik saja.
Lantas, apa yang membuat kawan politik merasa terlepas dari rantai kekuasaan? Lagi-lagi adalah komunikasi. Justru paska kemenangan politik, mereka tak lagi sempat merapatkan barisan. Apapun keperluan, mesti perlu komunikasi. Cukup sapa, sebutkan apa permintaan. Toh tak semua yang diinginkan diketahui atau dipahami oleh sang pemimpin. Tak perlu malu, apalagi canggung. Perkawanan politik itu sudah jadi bekal, dan kawan pasti tak datang sebagai penyamun.
Dalam politik, sebenarnya pemimpin selalu punya indra etis untuk melihat mana kawan, mana lawan (mana Sengkuni). Justru yang biasa ada adalah politisasi kata “ditinggalkan”, biar bisa menggiring emosi dan persepsi politik publik.
Yang tabu dalam politik itu adalah mereka yang berparas “Sengkuni”. Posisinya tidak jelas dalam tim sukses di Paket 1 atau Paket 2 atau Paket 3. Plintat plintut, warna politiknya tidak sesuai dengan pilihan tim politiknya (duri dalam daging tim sukses). Lalu pukul dada ketika ada kandidat lain yang berhasil memenangkan kontestasi politik.
Tim sukses tidak akan pernah melepaskan identitas dirinya sebagai wajah dari pemimpin, oleh karena sudah menjadi keharusan apabila kepentingan masyarakat terpenuhi, maka kepentingan individu akan terpenuhi. Dan inilah kebahagiaan hidup manusia sebagai makhluk sosial. Karena persaingan apapun yang terjadi dalam tim sukses, janganlah persaingan dibangun atas suatu kebencian.
Tinggalkan Balasan