Jumat, 16 Mei 2025

Pakar Hukum DR. Edi Hardum, SH, MH : Putusan Pengadilan Berkekuatan Hukum Tetap Wajib Dieksekusi,Tidak Ada Ruang Untuk Diskresi

Pakar Hukum, DR. Edi Hardum, SH, MH

MANGGARAI, TRENNEWS.ID – Debat terbuka yang diikuti oleh tiga pasangan calon kepala daerah di Kabupaten Manggarai mendapat sorotan publik terhadap paslon nomor urut dua, Herybertus Nabit karena dinilai pembangkang dengan tidak melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap terhadap beberapa ASN yang dinonjobkan.

Penilaian tersebut saat paslon nomor urut satu, Ir. Ngkeros Maksimus bertanya kepada paslon nomor urut dua, Herybertus Nabit, tentang putusan pengadilan yang sampai saat ini tidak dilaksankan oleh Bupati Hery Nabit.

Namun, paslon nomor urut dua, Herybertus Nabit, menjawab pertanyaan paslon nomor urut satu bahwa sebuah keputusan bergantung pada kebijakan atau non-executable.

Menanggapi pernyataan Bupati Petahana Herybertus G.L. Nabit dalam debat publik, pakar hukum DR. Edi Hardum, SH, MH, menyoroti isu pentingnya konsistensi dalam melaksanakan hukum. DR. Edi menyampaikan bahwa semua putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap seharusnya dieksekusi tanpa pengecualian, dan penyebutan bahwa sebuah keputusan dapat dianggap “non-executable” atau bergantung pada kebijakan merupakan justifikasi yang tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

Konsistensi dalam Melaksanakan Hukum

Menurut DR. Edi, sumpah jabatan pejabat publik, terutama kepala daerah, mencakup janji untuk menjalankan undang-undang dengan sepenuhnya. “Ketika seseorang dilantik sebagai bupati, dia bersumpah untuk tunduk pada undang-undang, termasuk mematuhi putusan hukum yang telah inkracht atau berkekuatan hukum tetap. Menyatakan bahwa keputusan hukum tertentu bisa diabaikan tanpa alasan yang sah dapat dipandang sebagai pelanggaran serius terhadap sumpah jabatan dan integritas hukum,” tegasnya.

Menjaga Kepastian Hukum sebagai Pilar Pemerintahan yang Baik

Edi juga menyebutkan bahwa prinsip kepastian hukum bukan hanya untuk diambil setengah-setengah. “Apabila seorang kepala daerah dapat menilai sendiri apakah suatu putusan perlu dieksekusi atau tidak, ini dapat melemahkan sistem hukum dan menjadi preseden buruk. Pelaksanaan putusan pengadilan adalah keharusan dan bukan pilihan yang diserahkan pada diskresi kepala daerah,” tambahnya.

Dampak Terhadap Kepercayaan Publik

Lebih lanjut, Edi mengingatkan bahwa tindakan menahan atau menunda eksekusi putusan hukum berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah. “Masyarakat akan melihat ini sebagai ketidakpastian hukum dan ketidakkonsistenan pemerintah dalam menegakkan keadilan. Pada akhirnya, ini menggerus kepercayaan terhadap pejabat publik dan dapat memperlemah integritas serta wibawa pemerintah daerah,” ujar Edi.

Bahaya Penyalahgunaan Diskresi

Pakar hukum ini menilai bahwa diskresi eksekutif harus digunakan dengan sangat hati-hati dan terbatas, terutama dalam hal pelaksanaan putusan pengadilan. “Kepala daerah harus bertindak hati-hati. Tidak ada diskresi dalam menegakkan putusan yang sudah final, karena ada risiko penyalahgunaan kewenangan yang sangat besar. Diskresi semacam ini tidak dapat dipakai sebagai tameng untuk menghindari kewajiban hukum,” lanjutnya.

Menurut DR. Edi Hardum, dalam kasus seperti ini, Paslon nomor satu, Maksimus Ngkeros, dapat mempertanyakan secara tegas standar dan kriteria yang digunakan petahana untuk menilai putusan mana yang harus dieksekusi atau tidak. Hal ini penting untuk menjaga prinsip hukum dan untuk memastikan bahwa pejabat publik menghormati dan melaksanakan semua keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. (Lado)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini